Dalam gelanggang ekonomi global, persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China ibarat duel antara Mickey Mouse dan Kungfu Panda.
Mickey Mouse, ikon ceria yang melambangkan kapitalisme dan dominasi budaya AS, berhadapan dengan Kungfu Panda, simbol ketahanan dan ambisi China yang menggabungkan tradisi kuno dengan modernitas. Konflik ini, yang dimulai pada 2018 di era Donald Trump periode pertama memuncak pada Perang Tarif 2025 di periode kekuasaannya kedua, telah mengguncang kedua negara dan mengancam stabilitas ekonomi dunia.Â
Mickey Mouse, diciptakan Walt Disney pada 1928, bisa merepresentasi lambang AS yang ideal. Ia mencerminkan optimisme, inovasi, dan kebebasan individu dengan salah satu nilainya adalah ekspresi "American Dream." Dari sketsa sederhana, Mickey menjadi imperium global melalui Disney, simbol kapitalisme AS yang agresif. Popularitasnya menunjukkan soft power AS yang perlahan selama lebih dari tujuh puluh lima tahun, dengan Hollywood mendominasi budaya pop, menjadikannya negara superior. Dalam perang dagang, Mickey melambangkan upaya AS mempertahankan hegemoni melalui propaganda pasar bebas yang akhirnya pudar serta membentuk lanskap ekonomi baru melalui tarif dan sanksi. Namun, kebijakan proteksionisnya rentan memicu inflasi dan gangguan rantai pasok, sebagaimana dianalisis oleh Dani Rodrik dalam bukunya "The Globalization Paradox" (2011): "Proteksionisme sering kali menjanjikan keamanan ekonomi, tetapi justru menciptakan distorsi pasar yang merugikan konsumen dan produsen."
Kungfu Panda, dengan tokohnya "Po" dari film DreamWorks, mewakili China modern. Panda sebagai hewan nasional China, Po adalah simbol diplomasi budaya Asia yang lembut namun kuat. Kisahnya, dari sosok biasa menjadi pahlawan melalui kerja keras, mencerminkan perjalanan China menjadi raksasa ekonomi. Kungfu menunjukkan akar budaya China, sementara adaptasi Po mencerminkan fleksibilitasnya dalam globalisasi. Deng Xioping sudah memulainya dengan kutipan yang mengubah Tiongkok yaitu "It doesn't matter whether a cat is black or white, as long as it catches the mice." Dalam perang dagang, Kungfu Panda melambangkan ketahanan China, bertahan di bawah tekanan tarif AS dengan melemahkan yuan dan diversifikasi pasar. Teori Branko Milanovi dalam "Capitalism, Alone" (2019) menyampaikan "China telah menciptakan model kapitalisme yang unik, menggabungkan kontrol negara dan dinamisme pasar, memungkinkannya menahan guncangan eksternal."
Pertarungan dimulai pada 2018, ketika Mickey Mouse mengenakan tarif 25% pada barang China senilai USD 550 miliar. Kala itu dipicu oleh defisit perdagangan AS-China (USD 419 miliar), serta tuduhan pencurian kekayaan intelektual, dan subsidi industri China. Kungfu Panda membalas dengan tarif pada produk AS senilai USD 185 miliar, menyasar pertanian dan manufaktur. Konflik ini mengganggu rantai pasok global, menaikkan harga, dan memperlambat ekonomi dunia. Pada 2020, kesepakatan "Phase One" mencoba meredakan ketegangan, dengan China berjanji membeli produk AS senilai USD 200 miliar, tetapi janji ini tidak terpenuhi sepenuhnya karena pandemi COVID-19. Tarif era Trump dipertahankan di bawah Joe Biden, menunjukkan duel ini adalah konsensus di AS.
Kembalinya Trump pada 2025 mengeskalasi perang dagang tersebut. Pada April 2025, Mickey Mouse mengumumkan tarif 145% pada barang China, bahkan mengancam mengenakan tarif tertinggi 245% setelah Kungfu Panda menaikkan tarifnya menjadi 84% sebagai balasan atas tarif tesiprokal AS kepada China 34%. Perang tarif ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga perebutan hegemoni ekonomi global. AS berusaha melemahkan dominasi China di mobil listrik (60% produksi global) dan baterai (80% pasar dunia), sementara China bertahan dengan melemahkan yuan dan memperluas pengaruh di BRICS dan Negara-Negara Global South. Thomas Piketty dalam "Capital in the Twenty-First Century" (2014) memperingatkan: "Ketimpangan global yang diperparah oleh konflik perdagangan dapat memicu ketidakstabilan sosial dan ekonomi di banyak negara."
Dampak pertarungan ini sangat signifikan. Pertama, rantai pasok global akan terganggu, dengan harga barang impor di AS melonjak, bisa mendorong inflasi Amerika dari 2,9% menjadi 4% (Capitol Economics). Di China, ekspor yang terpukul mengancam deindustrialisasi serta perlambatan ekonomi, dengan UBS memprediksi penurunan ke 4% pada 2025 tanpa stimulus besar. Negara Indonesia akan menghadapi penurunan ekspor bahan baku dan depresiasi mata uang. Kedua, ekonomi dunia melambat, dengan IMF memangkas proyeksi pertumbuhan global menjadi 3,3% untuk 2025. Pasar saham global, dari STOXX 600 hingga Nikkei, anjlok, dan harga komoditas seperti minyak turun karena permintaan lesu, memengaruhi negara pengekspor seperti Indonesia. Ketiga, ada peluang dan tantangan bagi negara lain. Vietnam memanfaatkan konflik ini dengan menarik relokasi industri dari China, menggantikan peran Kungfu Panda di pasar AS. Indonesia, meski terkena tarif resiprokal 32%, bisa mengikuti dengan memperkuat kerja sama BRICS dan diversifikasi pasar. Namun, jumlah PHK (sekitar 40.000 pekerja pada Januari-Februari 2025) dan risiko kemiskinan meningkat mengancam stabilitas sosial.
Joseph Stiglitz dalam "People, Power, and Profits" (2020) menawarkan wawasan: "Perang dagang sering kali memperburuk ketimpangan dan melemahkan ekonomi global, tetapi juga membuka peluang bagi negara-negara yang mampu beradaptasi dengan cepat." Indonesia, misalnya, bisa meniru Vietnam dengan menarik investasi dan memperkuat industri melalui hilirisasi dan digitalisasi UMKM lebih progresif lagi. Secara global, kerja sama melalui WTO diharapkan mampu meredakan ketegangan, meski sulit mengingat sikap proteksionis Mickey Mouse dan keteguhan Kungfu Panda.
Pertarungan Mickey Mouse dan Kungfu Panda pada 2025 juga menandakan pergeseran ekonomi dari era perdagangan bebas global yang dipelopori AS ke era ekonomi baru. Tanpa negosiasi, resesi global mengintai, dengan negara berkembang seperti Indonesia menjadi korban karena ketergantungan ekspor dan lemahnya fundamental ekonomi. Mickey, dengan optimisme dan kekuatan budayanya, berusaha mempertahankan dominasi AS. Kungfu Panda, dengan ketahanan dan adaptasinya, menunjukkan semangat China tidak akan mundur. Dari 2018 hingga 2025, perang dagang ini telah mengubah perdagangan global, dengan dampak dari Amerika hingga Asia Tenggara. Proyeksi ke depan menunjukkan tantangan besar, tetapi juga peluang bagi negara seperti Indonesia untuk beradaptasi. Dalam duel ini, tidak ada pemenang sejati namun hanya soal siapa yang lebih tahan banting, dan dunia menanti apakah keduanya akan berdamai atau terus bertarung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI