Tulisan ini terinspirasi dari nukilan orasi Presiden Prabowo di panggung hari ulang tahun ke-17 Partai Gerindra yang dilaksanakan di Sentul International Convention Centre (SICC), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15/2/2025).Â
"Tidak ada Presiden Republik Indonesia yang punya tongkat Nabi Musa", dalam orasi tersebut mungkin ingin menggambarkan kondisi kepemimpinan nasional tanpa wahyu yang melalui pemimpinnya rakyat diselamatkan dan berjalan mencapai arah tujuan bersama.
Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya dan keberagaman budaya, tetapi ironisnya, kemiskinan, ketimpangan sosial, dan birokrasi yang lamban masih menjadi persoalan mendasar. Setiap pemilu, rakyat berharap akan lahir pemimpin yang mampu membawa perubahan besar, pemimpin dengan tongkat Nabi Musa---bukan dalam arti harfiah, tetapi sebagai simbol keberanian dalam menerapkan terobosan kebijakan (breakthrough policy) yang mampu membuka jalan bagi keselamatan dan kesejahteraan rakyat.
Seperti kisah Nabi Musa yang membelah lautan untuk menyelamatkan umatnya dari kezaliman, Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu mengatasi berbagai kebuntuan kebijakan dengan reformasi yang nyata. Reformasi itu harus mencakup debirokratisasi dan deregulasi, agar sistem pemerintahan tidak lagi menjadi penghambat bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Reformasi Birokrasi: Membelah Lautan Administrasi yang Kaku
Birokrasi Indonesia masih sering dianggap sebagai hambatan dalam pembangunan. Alih-alih menjadi mesin pelayanan publik yang efisien, birokrasi justru menjadi labirin administratif yang penuh dengan tumpang tindih kewenangan, prosedur yang tidak perlu, serta praktik korupsi yang sistemik.
Dalam konteks ini, tongkat Nabi Musa dapat dimaknai sebagai simbol kepemimpinan yang mampu membelah lautan administrasi yang kaku dan membuka jalan bagi sistem pemerintahan yang lebih transparan, responsif, dan inovatif.
James MacGregor Burns dalam Leadership (1978) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang "tidak hanya mengelola sistem yang ada, tetapi juga mengubahnya secara fundamental demi kepentingan yang lebih besar."
Dalam konteks reformasi birokrasi, kepemimpinan transformasional harus berani:
- Memangkas birokrasi yang tidak efisien, menghilangkan prosedur yang tidak perlu, dan menyederhanakan struktur organisasi pemerintahan.
- Memastikan meritokrasi dalam pengangkatan pejabat publik, sehingga tidak ada lagi jabatan yang diberikan berdasarkan kedekatan politik atau nepotisme.
- Mendorong digitalisasi birokrasi, di mana layanan publik berbasis teknologi dapat mempercepat pelayanan, mengurangi potensi korupsi, dan meningkatkan transparansi.
- Membudayakan birokrasi yang berorientasi pada hasil, di mana kinerja diukur berdasarkan dampak nyata bagi rakyat, bukan sekadar pemenuhan prosedur administratif.
Namun, reformasi birokrasi tidak akan efektif tanpa adanya debirokratisasi dan deregulasi yang terencana dan terstruktur.