Presiden menyampaikan kenaikan UMP 6,5% pada tanggal 29 November 2024 di tengah gejolak ketidakpastian ekonomi. Besaran tersebut merupakan rata-rata kenaikan upah minimum provinsi yang penentuannya akan didasarkan pada Permenaker dan segera diterbitkan.
Keputusan pemerintah tersebut menunjukkan ketidakpekaan terhadap situasi kinerja industri manufaktur dan situasi dunia usaha serta dunia industri di tanah air.
Salah satu dampak yang berpengaruh signifikan terhadap kebijakan tersebut adalah industri tekstil, produk tekstil nasional.
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) adalah salah satu sektor strategis yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor ini menyumbang signifikan terhadap ekspor, lapangan kerja, dan penggerak ekonomi daerah.
Namun, industri TPT kini berada di ambang kehancuran akibat kombinasi tekanan biaya produksi, kebijakan kenaikan upah yang tidak proporsional, serta regulasi yang membebani.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2024, 59.796 pekerja telah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Angka ini meningkat tajam sebesar 25.000 dibandingkan tahun sebelumnya, menandakan krisis serius di sektor industri, khususnya TPT.
Selain itu, sejumlah perusahaan tekstil besar, seperti PT Sri Rejeki Isman (Sritex), dan PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT), tengah menunggu keputusan pengadilan terkait proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Jika tidak ada langkah cepat dan strategis, ancaman deindustrialisasi akan menjadi kenyataan, menghancurkan lapangan kerja, melemahkan daya saing, dan memperburuk ketergantungan ekonomi nasional pada impor.
UMP 2025, Tantangan Kebijakan Upah yang Harus Tepat Sasaran
Dalam situasi kritis ini, penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 menjadi titik krusial. Kebijakan ini harus tetap berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023, yang dirancang untuk menyeimbangkan peningkatan daya beli pekerja dengan kemampuan dunia usaha.