Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Paradoks New Normal dan Abnormalitas Global

3 Juni 2020   23:27 Diperbarui: 2 Juli 2020   06:05 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi protokol kerja ketika masa kenormalan baru. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Situasi saat ini adalah realita kontradiktif yang bertentangan dengan logika dan kesadaran umum (common sense) dalam satu kemapanan logika dunia. Pandemi Covid-19 ini telah mendekonstruksi kemapanan dunia dan membuat kita berpikir ulang tentang kemapanan baru yang kita sebut situasi New Normal.

Sesaat kita hidup dengan banyak hal dalam situasi abnormal yang bertentangan dengan kebiasaan lama. Disrupsi akibat runtuhnya konstruksi kemapanan dunia tersebut justru membuat kita melihat lebih jelas hal-hal kontradiktif yang bertentangan dengan persepsi dan logika kolektif selama ini. Hal demikian ini adalah paradoks global yang terlihat lebih nyata dari sebelumnya.

Paradoks Global
Paradoks global dalam tatanan ekonomi dunia menjadi semakin nampak nyata pada masa dan pasca pandemi. Prediksi John Naisbitt (1994) bahwa bisnis besar dan pemerintah tidak akan mampu memenuhi tantangan ekonomi abad keduapuluh satu, terbukti nyata. 

Dalam buku-buku Megatrends, Naisbitt menjelaskan bagaimana revolusi telekomunikasi memberdayakan perusahaan kecil dan multinasional. Hal demikian menjadi realita sekaligus fenomena yang kita hadapi semua. 

Disruptive innovation dibidang teknologi informasi dengan munculnya platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, Google, dan WhatsApp telah memicu paradoks global jejaring sosial. 

Kritik social networking yang difasilitasi platform digital itu telah justru membuat jejaring sosial tidak bekerja sebagaimana mestinya sebelumnya. Social Networking melalui revolusi platform digital telah menciptakan realita relasi personal menjadi sesuatu yang "socially not working". 

Protokol "social distancing" yang berlaku saat pandemi ini seolah menjadi justifikasi runtuhnya kritik sosial atas platform komunikasi digital yang memicu individualisme. 

Hal itu sekaligus merupakan antitesa paradoks global dibidang teknologi komunikasi digital. Dunia dengan cepat merasakan efek zoombombing, yang secara drastis meruntuhkan industri konvensi dan meeting tatap muka langsung menjadi zoominar, webinar, dan sebagainya. 

Bangunan megah sekolah dan kampus universitas banyak yang sepi dan digantikan ruang kecil di rumah untuk kegiatan pengajaran dan pembelajaran jarak jauh. Industri property yang melayani korporasi besar dengan ruang perkantoran di gedung pencakar langit atau skyscraper menjadi lebih sepi dan diganti kemunculan banyak co-working space yang dilengkapi cafe dan fasilitas modern. 

Saat angka pengangguran meningkat tajam, justru kedepan akan muncul model bisnis baru yang berbasis internet (internet of things) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan jumlah SDM minimal. 

Hotel dengan tanpa resepsionis atau tanpa housekeeping staff akan menjadi trend model hotel masa depan yang tidak akan lama lagi terjadi, sementara itu cara pembayaran yang harus antri di kasir swalayan akan segera berganti dengan teknologi cashless. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun