Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pengendalian Diri dalam Filosofi Ajaran Budaya Jawa

14 Mei 2020   05:09 Diperbarui: 14 Mei 2020   05:23 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu aspek penting dalam ajaran agama -agama adalah perihal pengendalian diri. Hal tersebut berkaitan dengan upaya untuk mengatur harmoni manusia serta ciptaan lain dalam dimensi transendental dan dimensi sosial. Budaya merupakan salah satu sumber dari kebajikan yang ada di masyarakat.

Dalam konteks budaya Jawa, terdapat ajaran luhur untuk suatu proses pengendalian diri menuju pencapaian kebijaksanaan transendental. Salah satu ajaran tersebut yaitu Neng, Ning, Nung, Nang.

Makna filosofis Neng Ning Nung Nang ini sangat dalam dan sebaiknya dipahami secara utuh (holistik) dan tidak terpisahkan masing-masing keempat hal itu.

Neng bisa diartikan meneng (diam) atau jumeneng (berdiri) untuk berdiam dalam konteks berkesadaran. Tahap awal dalam satu proses pengendalian diri adalah membangun kesadaran (conciousness). Kesadaran ini salah satunya bisa kita capai dengan diam (meneng).

Dalam berkesadaran kita memfokuskan akal budi kita untuk mencapai Ning yang diambil dari Wening (Jernih) yaitu agar kesadaran kita jernih tidak tercampur dengan segala keburukan. Kesadaran yang jernih akan mencapai kondisi untuk kita Nung yaitu Kasinungan Sukma sejati sing dumunung ana ing kita (teranugerahi Rohulullah / Roh Allah / Roh Suci yang ada dalam diri kita).

Tahap pencapaian selanjutnya adalah Nang artinya "Menang lan Kawenang" maknanya adalah kemenangan dalam spiritualitas pribadi yang ditandai dengan keberadaan kita untuk memiliki otoritas spiritual yang suci sebagai cermin energi immanent untuk kebaikan dan keutuhan seluruh ciptaan. Neng bisa dimaknai sebagai aturan atau  syariatnya, Ning sebagai suatu makna tarekatnya, Nung sebagai  hakekatnya, dan Nang adalah makrifatnya.

Dalam pengenalan dan pengendalian diri ada ajaran tentang "Sedulur Papat Limo Pancer". Simbologi empat saudara "marmati, kakang kawah, adi ari ari, getih (darah), lan puser (udel)". Simbologi makna ajaran tersebut memiliki makna kebijaksanaan akan tercapai jika terjadi harmoni antara tubuh raga kita, jiwa, dan Roh yang menjadi satu dengan Tuhan  (Manunggaling kawulo Gusti). 

Dalam Wayang sering digambarkan juga secara simbolik berupa empat gambar hewan yang mewakili karakter dasar manusia yaitu harimau, banteng, kera, dan burung merak. 

Harimau menjadi simbol kekuasaan yang buas penuh amarah, banteng menjadi simbol kekuatan dan kekuasaan, kera menjadi simbol sifat curang, serta merak menjadi simbol kesombongan. Pengendalian diri kita harus bisa menjaga agar empat kecenderungan sifat buruk tadi tidak muncul dalam tindakan melainkan menjadi kebijaksanaan yang bertumpu pada Allah sebagai Sang Penjuru Kehidupan.  

Masyarakat Jawa memiliki faham kosmis totalis dimana keutuhan makro kosmos (Jagat ageng) akan sangat dipengaruhi oleh keutuhan mikro kosmos (Jagat alit). Harmoni keutuhan kosmos dan makro kosmos ini digambarkan dalam satu ajaran yang menjadi tekad untuk memperindah Alam Semesta secara utuh atau Hamemayu Hayuning Bawono. 

Kita perlu mengendalikan hati kita dengan kebaikan (Hamemayu Hayuning Rasa) dan mengendalikan tubuh kita (Hamemayu Hayuning Raga).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun