Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bercermin Pada Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa

17 Januari 2017   04:10 Diperbarui: 22 Mei 2018   15:43 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahaya, tidak ada stok buku baru. Hari-hari pekan depan bakal gersang. Keluh saya dalam hati. Mengantisipasi keadaan, pada senja yang basah, saya mencoba keberuntungan di Gramedia. Saya berharap masih ada buku bagus dijual toko buku mainstream itu di tengah serbuan teenlit dan buku-buku motivasi yang masih saja menjamur meski dedengkot para motivator sedang dirundung masalah klaim keturunan.

Betul dugaan saya. Dunia sastra kita sedang surut. Gelombang kepedulian pada yang remeh-temeh sungguh menerpa hingga produksi kesusastraan. Toko-toko buku besar yang birahi pada keuntungan tentu saja harus menuruti selesa pasar. Rak demi rak saya periksa, tidak ada buku yang genit memanggil-manggil mengundang selera.

Tunggu dulu! Apa itu di sana? Ah, itu Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa. Sebuah novel sejarah karya Mpu Mangunwijaya. Novel tua sebenarnya. Ia pertama dirilis Penerbit Djambatan pada 1987. Rupanya Kompas menerbitkan kembali pada Juli 2015 lalu.

Saya pernah memiliki novel ini dua puluhan tahun lampau, tetapi hilang bersama buku-buku lain ketika saya berpindah-pindah kota. Maka menemukan kembali kitab sastra indah ini terpajang di toko buku tentu saya girang bukan main. Maklum saja, dalam urusan sastra, saya menyalakan dupa pada tiga penulis besar nasional: Pramoedya Ananta Toer atas realisme sosialnya; Putu Wijaya atas kesaktiannya mengolah peristiwa biasa sehari-hari menjadi tunggangan bagi pesan-pesan moralnya; serta tentu saja Y. B. Mangunwijaya atas keindahan bahasa, kekayaan filsafatnya dan pesan-pesan kemanusiaannya.

Dua minggu setelah tuntas membaca kembali, saya lantas merasa penting untuk membagi pesan dari novel ini kepada khalayak. Pesan yang saya anggap kontekstual dengan kondisi hidup berbangsa sekarang ini.

Ternate dan Tidore kembar bentuk maupun keadaannya. Bagaikan dua buah susu dada perempuan. Mengapa dua pulau tetangga dekat itu di sepanjang zaman hanya saling bertengkar saja?” (hal 19) Demikian kata Kiema-Dudu, kepala Kampung Dowingo-Jo menyindir Bahder Musang, utusan khusus dari Yang Dipertuan Agung Sultan Ternate Sahdi Barkat.

Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa memang berseting sejarah Ternate (dan Tidore) dan kehidupan masyarakat suku Tobelo di Halmahera pada tahun 1594 hingga 1621. Itu adalah masa ketika kepulauan rempah-rempah itu menjadi wilayah rebutan bangsa-bangsa Eropa, terutama Spanyol, Portugis, dan Belanda.

Hiu, Ido, dan Homa adalah ikan-ikan yang menjadi metafora kondisi penindasan dan penghisapan oleh kekuatan Kolonial kepada raja-raja lokal, dan raja-raja kepada rakyat jelata.

Homa, ikan kecil yang oleh nelayan dijadikan umpan ikan besar adalah metafora rakyat. Pada kisah ini, sosok rakyat diwakili oleh warga Kampung Dowingo-Jo --yang dibantai bala tentara Ternate— dan sepasang lelaki-perempuan yang selamat dari pembantaian, Mioti dan Loema-Dara, yang kemudian menikah dan mendirikan kampung baru, Gamfela di Pantai Teluk Kao.

Ido, ikan besar sejenis cakalang adalah pemangsa Homa. Ido inilah perlambang para penguasa Ternate dan Tidore yang kekuasaannya mengorbankan rakyat jelata. Sementara armada dagang (sekaligus pasukan tempur) Spanyol, Portugis, dan Belanda adalah Hiu-hiu.

Ternate dan Tidore harusnya dapat mengubah jalannya sejarah jika saja mereka bersatu, tidak saling memerangi. Kebencian dan persaingan turun-temurun antara kedua kerajaan tanah air rempah-rempah itu bukan hanya membuat keduanya lemah. Demi memenangkan perang, masing-masing pihak menggandeng kerjasama dengan bangsa-bangsa Eropa yang sedang bertempur memperebutkan monopoli dagang. Tidore dengan Portugis, Ternate dengan Belanda. Kerjasama itu berubah menjadi konsesi monopoli dagang dan berakhir dengan penjajahan, penaklukan seluruh wilayah Uli Ampat Maluku: Ternate-Tidore-Bacan-Jailolo oleh Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun