Keputusan Presiden Jokowi memobilisasi militer untuk memastikan penegakan protokol cegah penularan Covid-19 mencemaskan banyak orang. Tetapi beberapa hari ini ada peristiwa lucu di NTT. Di Kupang serdadu-serdadu bertindak layaknya perawat dan bidan, menyuluhi rakyat protokol jaga jarak. Di Kabupaten Ngada, Satpol PP, unsur sipil, justru berulah militeristik.
Militerisme adalah mimpi buruk peninggalan Orde Baru. Di masa itu, militer andalan sebagai alat koersif (bukan cuma represif) untuk menjamin kepatuhan rakyat. Para petinggi ABRI mendominasi jabatan-jabatan penting di sektor bisnis (direktur dan komisaris perusahaan negara dan swasta), politik (pengurus Golkar, anggota DPR, menteri, gubernur dan bupati), hingga birokrasi (pejabat eselon 1 dan 2).
Di masa itu --hingga kini-- struktur pemerintahan militer peninggalan masa Tentara dan Teritorial, konsep pemerintahan militer Nasution untuk menyiasati kelumpuhan pemerintahan sipil semasa agresi militer Belanda --kemudian disebut komando teritorial-- selalu membayangi pemerintahan sipil, menjadi shadow government --bukan dalam konteks deep state-- yang tidak jauh berbeda dengan praktik Partai Komunis Uni Soviet di masa Stalin, --sturktur partai selalu membayangi kepemimpinan Soviet-Soviet di setiap jenjang.
Masyarakat sipil sangat takut jika Indonesia kembali ke masa itu. Maka jangan heran, setiap peluang menuju ke sana, atau yang dinilai potensial menciptakan kondisi menuju ke sana, selalu ditentang keras.
Saat ini ada dua mata pergunjingan seputar ancaman kembalinya 'militerisme', yaitu soal peran TNI dalam pemberantasan terorisme dan soal mobilisasi TNI dalam prakondisi new normal pascapandemi Covid-19.
Berhubung tanpa kejelasan, artikel ini di-unlabeling, saya pindahkan ke blog pribadi di Coffee4Soul.club. Sila membaca 11 halaman sisanya di sana. Setelah mendapat penjelasan dari admin barulah akan kembali saya tayangkan di sini.
Terima kasih.