Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan featured

3 Sebab Pilkada Serentak Desember 2020 Wajib Batal

28 Mei 2020   12:37 Diperbarui: 13 April 2024   22:08 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendagri Tito Karnavian [ANTARA FOTO Dhemas Reviyanto via Kompas.com]

Idealnya, pergantian kekuasaan itu menguntungkan rakyat. Penguasa lama yang tidak becus diganti yang baru, yang menjanjikan perubahan. Kenyatannya sering tidak begitu. Muka pejabat publik boleh berganti, kebijakan dan karakternya copy paste pendahulu, bahkan boleh jadi lebih buruk lagi.

Rabu (27/05) kemarin, Mendagri Tito Karnavian, Ketua KPU Arief Budiman, dan Komisi II DPR berembuk virtual soal pelaksanaan pilkada serentak. Lucu, dari tiga opsi-Desember 2020, Maret 2021, dan September 2021---mereka sepakati waktu yang paling dekat, Desember 2020.[1]

Bagi saya, keputusan Pemerintah-DPR-KPU ini mengkhianati akal sehat dan nurani. Rakyat sedang menderita oleh pandemi: sakit, meninggal, ditinggal mati keluarga dan kerabat, kehilangan pekerjaan, kehilangan daya beli. Negara harus memangkas banyak program pembangunan dan mengurangi kualitas pelayanan publik sebab anggaran difokuskan untuk penanganan pandemi. Tetapi Tito Karnavian, Arief Budiman, dan Komisi II DPR lebih peduli pada urusan demokrasi prosedural yang dalam konteks saat ini sedang tidak penting-penting amat.

Ada tiga alasan mengapa kesepakatan Pak Tito, Pak Arief, dan anggota Komisi II DPR RI harus dianulir. Ketiga alasan ini berkaitan dengan prediksi seturut angka-angka kasus dan pola penangananan pemeriintah saat ini, bahwa pada Desember 2020 nanti Indonesia masih berkutat dengan pandemi Covid 19.

Pertama.

Seperti disinggung dalam paragraf lead, momentum elektroral dalam demokrasi prosedural di Indonesia kenyataannya tidak lebih dari mekanisme daur ulang kekuasaan. Muka-muka pemain dan pemenang boleh berganti, tetapi golongan mereka dan yang mereka representasikan itu-itu juga.

Demokrasi Indonesia bukanlah ruang pluralis yang welcome semua grup sosial dan haluan filsafat politik-ekonomi. Demokrasi prosedural di Indonesia intoleran terhadap kekuatan politik rakyat. Partisipasi sejati rakyat untuk berkontenstasi dibunuh sebelum mekar; baik oleh represi maupun oleh syarat administratif ketat yang memunculkan politik berbiaya tinggi. Rakyat hanya dilibatkan secara pasif untuk memilih. Seaktif-aktifnya rakyat ya sebagai tenaga upahan dalam tim pemenangan.

Pilkada, pun pemilu, berperan serupa hubungan seksual panas pereda pertengkaran suami-istri. Pemilu dan pilkada jadi tidak lebih dari mekanisme pereda dan penyelesaian ketegangan dalam persaingan elit berebut akses sumber daya ekonomi (rente) melalui peran dominan dalam medan kekuasaan.

Untuk hajatan demokrasi yang ujung-ujungnya kocok ulang aktor utama di antara para elit, daur ulang kekuasaan grup sosial yang sama, rasanya terlalu mahal jika harus dibayar dengan peningkatan jumlah kasus Covid-19.

Pilkada sudah pasti kerumunan; pilkada sudah pasti meningkatnya intensitas pertemuan-pertemuan; dan sudah pasti berarti peningkatan risiko penularan virus Corona. Nyawa rakyat taruhannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun