Sungguh! Deretkan seliweran kabar di pekan ke-3 dan 4 Mei, hadirlah jukstaposisi paling kontras dan ironis di tahun ini. Peringatan Harkitnas, peringatan Hari Reformasi, dan wacana penahanan SD, istri serdadu T. Ketiganya bersimpul pada frasa tumbangkan kekuasaan.
Kita seperti sedang menyaksikan Schindler List versi Spielberg: gadis cilik berbaju merah berlari-lari kecil di antara gambar hitam putih para serdadu Jerman. Kita merayakan ketakberdosaan gadis itu dengan hati yang pahit oleh bayangan muram holokaus.
Reformasi 1998 kalau mau diringkas dalam satu frasa, hakikatnya adalah 'penumbangan kekuasaan Soeharto'. Begitu pula Kebangkitaan Nasional, jika diperas penjelasannnya menjadi satu kalimat, akan menjadi 'lahirnya gerakan kebangsaan modern untuk menumbangkan kekuasaan Ratu Belanda di Indonesia'.
Ironis!
Merayakan Reformasi 1998 adalah mensyukuri keberanian dan pengorbanan para pemuda dan rakyat untuk menggalang gerakan dan meneriakkan tuntutan tumbangkan Soeharto.
Merayakan Kebangkitan Nasional adalah mengenang keberanian dan pengorbanan para perintis kemerdekaan untuk berhimpun demi satu cita-cita Indonesia merdeka, yang berarti tumbangnya kekuasaan pemerintah Belanda di negeri ini, pemerintah yang sah saat itu.
Bersamaan semua ucap syukur dan hening cipta itu, kontras, sejumlah pihak hendak menyeret Nyonya SD istri serdadu T ke penjara HANYA karena menulis singkat di media sosial, ""Mugo rezim ndang tumbang sblm akhir tahun 2020."[1]
"Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim akan berkoordinasi dengan Rindam Jaya terkait pembuatan laporan berdasarkan hasil pemeriksaan sementara istri Sersan Mayor T oleh Rindam Jaya," ucap Kabareskrim Komjen Listyo Sigit.[2]
Bah! Macam mana ini.
Bagaimana ini bisa masuk di akal? Bagaimana kita bisa memuji-muji suatu peristiwa sembari mengutuk peristiwa serupa yang bahkan jauh lebih rendah kualitasnya?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!