Pada masa kampanye Pilpres 2019, tepatnya pada 26 Desember 2018, Prabowo berkunjung ke NTT untuk menjumpai para mantan milisi ini sekaligus merayakan Natal bersama.
Saat itu Prabowo melontarkan kritik terhadap kekuasaan yang ia sebut sebagai elit-elit Jakarta sekaligus menyampaikan janjinya jika berkuasa.
“Banyak elit-elit di Jakarta tidak mengerti tidak paham perjuangan dan pengorbanan saudara-saudara sekalian. Jangankan pengorbanan saudara-saudara, penderitaan rakyat Indonesia di tempat lain bahkan di ibu kota sendiri mereka tidak mengerti, bahkan tidak paham atau pura-pura tidak paham. …. saya akan terus berjuang untuk saudara-saudara," kata Prabowo.[2]Â
Elit-elit di lingkaran istana bereaksi keras. Politisi PDIP Eva Kusuma Sundari menyerukan agar para eks warga Timor Timur tidak mempercayai janji Prabowo.
"Jangan percaya janji PS. Saat beliau di circle one Orba selama puluhan tahun juga tidak ada afirmasi ke para pengungsi, kok. Jokowi sudah membuktikan komitmen jelas kepada mereka, tentu dalam koridor kewarganegaraan. Misal memberikan social protection seperti untuk WNI lainnya," kata Eva dua hari setelah pernyataan Prabowo.[3]Â
Tetapi jauh lebih penting mengulas kondisi kehidupan bekas warga Timor Timur yang menyebabkan mereka harus berteriak menuntut tanggungjawab pemerintah dibandingkan membahas pertanyaan mengapa surat tuntutan disertai ancaman (akan pindah ke Timor Leste) itu dialamatkan kepada Menhan Prabowo Subianto.
Bukan barang baru
Tuntutan disertai ancaman seperti ini bukan baru kali ini disampaikan para mantan milisi Timor Timur. Pada September 2017 mereka sudah pernah berunjukrasa menyampaikan tuntutan yang kurang lebih serupa.
Kompas.com (26/09/2017) dalam artikel “"Ancaman Eks Pejuang Timtim Jika Tuntutan Tak Diperhatikan Pemerintah" memberitakan aksi unjukrasa para mantan milisi Timor Timur di bawah kepemimpinan Eurico Guterez.[4]
Saat itu tuntutannya adalah kompensasi dan piagam penghargaan kepada 13.000 milisi pro-integrasi Timor Tiimur, serta kepastian hukum bagi 403 orang yang tercatat daftar serious crime PBB terkait pelanggaran HAM berat saat jajak pendapat Timtim 1999 silam.
Para pengunjukrasa mengancam, jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka akan kembali berunjukrasa dengan massa lebih banyak, ribuan orang, hingga tuntutan terpenuhi.