Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penulis Mantra: "Awatara Brahma" Meringkas Mahapurana

29 April 2020   03:19 Diperbarui: 29 April 2020   04:32 1331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antologi puisi "Penulis Mantra" [facebook.com/Lanny Koroh]

Rahasia ke-Allah-an Brahman juga dinyatakan di dalam puisi "Di Ketinggian Ende", juga Brahma sebagai manifestasi kuasa penciptaaan Brahman. Baik aku-lirik dan kau-lirik mengacu pada keduanya (sebagai satu kesatuan).

Bait pertama "Aku tak perlu berdiri untuk menjadi ada tak perlu berlari untuk sampai tak perlu tubuh untuk cinta" adalah gambaran ke-Allah-an yang tak perlu syarat untuk mengada.

Pada bait berikut, "terus menulis huruf-huruf menyusun namamu" menggambarkan penciptaan sebagai proses yang tak berhenti. Ini juga menunjukkan---seperti di dalam agama-agama lain--- kata/mantra/sabda memainkan peran penting penciptaan. God Said, Kunfaya kun.

Peran Sabda/bunyi dan cahaya di dalam penciptaan materi juga menunjukkan kesatuan tak terpisahkan antara energi dan materi, hal yang baru di kemudian hari dipahami oleh ilmu pengetahuan.

Puisi "Redup Cahaya" dan "Mimpi Terakhir": Gambaran Umum Rahasia Penciptaan menuju Peleburan 

Di dalam puisi "Redup Cahaya" aku-lirik (Brahma) menulis tentang dirinya sendiri mencipta. "Tubuhku telah menuliskan banyak jejak tak tahu mana yang tercatat".

Sekali lagi ditegaskan di sini bagaimana kehidupan diciptakan sendiri oleh Allah dari tubuh Allah, semesta keluar dari pori-pori Allah. Atman yang menjadi jiwa setiap mahkluk pada dasarnya adalah cercah Paramatman, cahaya sang Ilahi, Sang Cinta, yang menubuh oleh cinta. Tat savitur varenyam (Engkaulah sumber segala cahaya).[7]

"Cinta satu-satunya yang memberi warna" (beragam bentuk Purusa/daya batin dan Prakerti/pradana/rupa/daya kebendaan) "maka biarkan semburat" (cercah cahaya ilahi yang menjadi atman pada diri mahkluk) "menjadi cerita dalam lukisan perjalanan" (kisah sejak penciptaan dan berjalannya kehidupan) "menuju redup cahaya" (pralaya, peleburan ketika atman pembali pada Sang Cinta dan dari sana kehidupan akan kembali diciptakan).

Di dalam puisi "Mimpi Terakhir", aku-lirik (Brahma) bicara tentang peciptaan. "Kotak-kotak yang di dalamnya bermekaran seluruh pagi dan matahari".

Perhatikan, "kotak-kotak," sebuah bentuk jamak, menujukkan Hindusme menerima konsep multiverse, dan setiap semesta memiliki satu Brahma sendiri. Hal ini jauh lebih maju dibandingkan sejumlah kebudayaan yang masih memandang bumi sebagai pusat semesta, atau setidaknya sebagai satu-satunya tempat dimana manusia hidup.

Di dalam "Mimpi Terakhir" juga dinyatakan Brahma tidak bisa menghindari datangnya pralaya--"kelelahan, mimpi terakhir, jarum jatuh, kota-kota menjauh, tusukan di jantung yang mengubah semua warna menjadi kelabu, ungu, dan hitam"--sebab pralaya adalah kuasa Siwa, manisfestasi Kuasa Peleburan Sang Brahman/Allah--"tiba saatnya kau akan memilih perih"||.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun