Mohon tunggu...
Ayang
Ayang Mohon Tunggu... Konsultan - None

Just none.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PSBB Ojol Bikin Bingung, Anies "Kesalip" Luhut?

12 April 2020   21:25 Diperbarui: 12 April 2020   22:30 1338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Anies Baswedan dan Menko Marven Luhut Panjaitan [Kompas.com]

Zaman dulu ada tahun menyerempet bahaya, tahun-tahun vivere pericolosamente, tavip. Kini, 2020 adalah tahunnya penguasa bikin rakyat bingung.

Lihat saja. Berbekal semangat penyederhanaan aturan, Presiden Joko Widodo menginisiatifi UU Omnibus law. Salah satunya adalah UU Cilaka yang bisa bikin celaka kelas pekerja. Eh, di tingkat menteri-menteri dan gubernur justru ada perlombaan bikin aturan, bahkan terkesan saling telikung, baku salip di tikungan.

Setelah rakyat sempat bingung dengan wacana darurat sipil yang dilontarkan Presiden Joko Widodo, akhirnya PP 21/2020 tentang PSBB terbit tanpa sama sekali menyinggung kata darurat sipil.

Lalu tibalah giliran Menkes Terawan terbitkan peraturan tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar. Permenkes 9/2020 Pedoman PSBB lebih membingungkan dibandingkan memedomani. Pasal-pasalnya tumpang tindih dan lebih mundur dibandingkan praktik pembatasan sosial yang sudah diterapkan masyarakat.

Soal bagaimana membingungkannya Permenkes ini, Anda baca saja di artikel "Pening Membaca Permenkes PSBB, Jangan-Jangan Salah Ketik Lagi." Kalau saya bahas ulang, malah akan tambah bikin bingung. 

Tidak ketinggalan, Kapolri juga bikin bingung bercampur cemas. Dalam salah satu telegram, yang bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tentang penanganan kejahatan terkait situasi dan opini di ruang siber, Kapolri memerintahkan para anak buahnya di seluruh wilayah tanah air untuk menindak tegas para penghina presiden.

Padahal menurut para ahli dan praktisi hukum, keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang membatalkan pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP harus dimaknai sebagai tiada lagi warga negara yang bisa dijerat hukum oleh sangkaan penghinaan terhadap insitusi, termasuk presiden sebagai institusi.(1) 

Jadi hanya yang menghina Pak Jokowi sebagai pribadi yang bisa diseret hukum. Itupun delik aduan, yang berarti polisi hanya bisa memproses pelaku jika Pak Joko Widodo sendiri yang datang ke kantor polisi untuk melaporkannya. Jadi tidak bisa diwakili oleh relawan.

Rakyat sudah pasti bingung sebab yang mereka pahami, keputusan MK berlaku final mengikat. Apakah dengan telegram ini berarti Kapolri memberi contoh kepada masyarakat bahwa keputusan MK ditanggapi santuy saja? Mau dituruti monggo, tidakpun sah-sah saja?

Saking membingungkannya, SBY yang sudah mantanpun akhirnya harus turun tangan membahas hal begini (Baca: "Imbauan SBY, Dukung atau Sindir Jokowi Nih?").

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun