Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

RUU Cipta Kerja, "Copy-Paste" Diskriminatif Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja Eropa

27 Februari 2020   20:25 Diperbarui: 7 Maret 2020   04:45 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buruh Tolak Omnibus Law Cilaka [Tirto.id]

"Siang Pak ******.  Apakah besok after lunch bs kita diskusi?"
"After lunch? takut tekor ya nyonya? OK siap. Jam 2?"
"Haha cm itu jadwal yg ********* bisa Pak. Krn pagi beliau cuti :)"
"Indonesia sudah masuk rejim flexi job, harusnya *** sdh berlakukan flexi working hours sehingga tak perlu cuti, tetapi tukar jam kerja."
"Iya pak sy jg berharap begitu. Work from home jg blm ada aturannya di ***."
"Padahal Jenis kerjaan di *** memungkinkan utk itu."
"Bgmn cara advokasinya ya Pak? haha."

Demikian bunyi percakapan WA 2 hari lalu. Seorang nona, program manajer sebuah lembaga minta pertemuan untuk membicarakan rencana studi pasar dan assessment desain model bisnis kerjasama berpendekatan making market work for the poor (M4P) antara private sector dengan petani holtikultura di sejumlah kabupaten. Kalau ok, mereka sekali lagi akan jadi majikan saya, untuk sebulan lamanya.  Tahun lalu mereka jadi majikan saya 2-3 bulan lamanya, untuk pekerjaan serupa tetapi untuk komoditi kemiri, vanili, dan gula lontar di 3 kabupaten..

Meski terkesan becanda, isu flexi job temporal dan spasial dalam percakapan di atas mendorong saya menulis soal ini. Problemnya adalah dua elemen flexy job tadi justru tidak signifikan pengaturannya---hanya konsekuensi dari fleksibilitas kontrak---dalam RUU Cipta Kerja. Padahal, justru fleksibilitas jam dan tempat kerja adalah yang diinginkan buruh (terutama kerah putih), bertolak belakang dengan dua elemen fleksibilitas lain (kontrak dan upah) yang hanya diinginkan kalangan kapitalis atau pengusaha.

Om-Tante bisa luangkan waktu sejenak melirik artikel yang membahas fleksibilitas kontrak ("Ancaman Maraknya Outsourcing dan Buruh Kontrak dalam UU Cipta Kerja") dan fleksibilitas upah ("Omnibus Law, Upah Buruh Usaha Kecil Cuma Separuh UMP") yang sangat signifikan diatur dalam RUU Cipta Kerja, yang sangat menguntungkan pengusaha, sebaliknya merugikan buruh. Tidak ada pengaturan spesifik soal fleksibilitas waktu kerja dan tempat kerja dalam RUU Cipta Kerja. Jika pun ada, ia diputarbalikan menjadi kepentingan pengusaha, bukan buruh.

Salah satu hal baik di Eropa yang tidak diadopsi regulasi ketenagakerjaan kita, baik yang sedang berlaku, pun yang masih draft dalam RUU Cipta Kerja adalah hak buruh atas waktu dan tempat kerja yang fleksibel.

Di Finlandia, sejak 1996 pemerintahnya sudah menerbitkan UU yang melindungi hak buruh untuk menyesuaikan jam kerja dengan urusan personalnya. Dalam Working Hours Act 1996 ini, buruh memiliki hak untuk memilih masuk kerja 3 jam lebih dini (demikian juga pulang lebih dini), atau sebaliknya masuk telat 3 jam dan pulang telat 3 jam.

Dengan ketentuan tersebut, kaum buruh bisa lebih memerhatikan keluarga, terutama keluarga suami-istri buruh yang memiliki anak masih kecil. Istri bisa masuk 3 jam lebih awal, suami 3 jam telat. Dengan begitu anak memiliki lebih banyak waktu dengan salah satu orang tua.

Bukan cuma ketentuan di atas kertas, 9 dari 10 perusahaan di Finlandia memberikan kaum buruh kebebasan memilih opsi jadwal kerja yang paling selaras dengan kebutuhan waktu untuk urusan pribadi dan keluarga.(1)

Kini Finlandia bahkan sudah berlakukan undang-undang baru yang kian progresif dalam soal flexibilitas waktu kerja. Dengan undang-undang yang mulai berlaku 1 Januari 2020 lalu, buruh di Finlandia bebas memilih untuk bekerja dari rumah untuk separuh waktu kerjanya. Jadi untuk jam kerja 40 jam seminggu, 20 jamnya buruh boleh bekerja dari rumah.(2, 3)

Di Indonesia, tidak satu pasal pun dalam UU Ketenagakerjaan yang lama, pun dalam draf RUU Cipta Kerja yang menyebutkan soal hak buruh atas fleksibilitas waktu kerja ini.

Memang, harus dipahami pula, ketentuan jam kerja fleksibel susah diterapkan di pabrik-pabrik yang operasionalnya berjalan dengan sistem fordisme. Idle time akan besar jika diterapkan sebab jika ada kekurangan tenaga di satu line, efek bottle neck akan tercipta di line tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun