Beberapa waktu lalu khalayak heboh oleh kisruh keuangan perusahaan asuransi Jiwasraya. Salah satu sebab persoalan di BUMN ini berlarut-larut adalah aksi window dressing yang dilakukan manajemen sehingga mengelabui para investor, termasuk pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas.
Hari-hari belakangan ini media massa ramai oleh berita berkurangnya jumlah penduduk miskin, baik secara nasional maupun di sejumlah provinsi.Â
Menarik, dua gubernur yang disebut-sebut dalam percakapan terkait calon presiden 2024 mendatang, Gubenur DKI Anies Baswedan (1) dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo (2) tampak memanfaatkan dengan baik angka-angka statistik yang dirilis BPS untuk pembangunan citra mereka sebagai kepala daerah yang sukses menekan kemiskinan di wilayahnya.
Pertanyaannya, apakah penurunan jumlah penduduk miskin ini nyata atau sekadar bentuk window dressing dalam politik?
Di dunia bisnis, window dressing adalah aksi utak-atik laporan keuangan agar kinerja perusahaan tampak moncer di hadapan investor.Â
Dalam kasus Jiwasraya misalnya, pada 2017 perusahaan melaporkan perolehan laba sebesar Rp 360 miliar. Laba itu palsu sebab kenyataannya Jiwasraya tidak menghitungnya dengan kekurangan pencadangan teknis sebesar Rp 7,7 triliun.Â
Jika angka ini turut dimasukkan dalam laporan, tampak jelas Jiwasraya sedang tekor berat. (3)
Mungkin karena kelewat marah, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan aksi window dressing adalah tindak pidana. (4) Kenyataannya, window dressing berada dalam daerah abu-abu di antara persoalan etik dan kriminal.Â
Karenanya, ia menjadi siasat lumrah di kalangan perusahaan publik untuk menarik minat investor. Tidak jauh berbeda dengan upaya pengelola toko menghiasi area di balik kaca depan besar di toko mereka dengan pajangan barang dagangan terbaik.
Banyak perusahaan melakukan siasat window dressing tidak sekasar dan sevulgar perusahaan asuransi Jiwasraya.Â
Cara-cara lazim window dressing yang tidak bisa serta-merta disebut penipuan misalnya dengan memberi potong harga besar-besaran untuk mendongkrak kinerja penjualan menjelang akhir periode pembukuan; menunda pembayaran kepada pemasok atau menunda pembayaran biaya operasional hingga ke periode pembukuan selanjutnya untuk menjaga ketersediaan kas; mengubah metode pencatatan depresiasi; menjual sejumlah aset tua untuk membeli aset baru; dan banyak langkah lain menjelang tutup buku yang bertujuan bikin kinclong cacatan dalam neraca, laporan laba rugi, dan laporan arus kas.
Investor yang tidak lihai atau yang malas-malasan mempelajari laporan keuangan tidak akan memeriksa lebih teliti laporan yang disajikan dan segera saja memutuskan untuk berinvestasi di perusahaan bersangkutan.
Tidak cuma dalam bisnis, window dressing juga dipraktikkan dalam lapangan politik. Jika di dunia bisnis yang hal utama yang di-permak adalah neraca, laporan rugi laba, dan arus kas, maka dalam dunia politik hal yang biasanya diutak-atik para politisi yang sedang memerintah adalah angka pengangguran dan angka kemiskinan. Bersama dengan tingkat inflasi, dua hal tadi jadi patokan publik, terutama para pengamat dalam menilai kinerja pemerintah.
Jika window dressing dalam bisnis dilakukan menjelang tutup buku; dalam politik dan pemerintahan hal ini paling banyak dilakukan di tahun pemilihan atau setahun sebelumnya, tetapi sering pula dilakukan sesuai masa pengukuran oleh lembaga seperti BPS dan Bank Indonesia, misalnya pertriwulan, semester, per-tahun, atau per Maret dan September yang merupakan masa pengukuran kemiskinan BPS.
Untuk mengesankan jumlah penduduk miskin berkurang, pemerintah bisa mempercepat penyaluran program-program Bantuan Sosial, tunai pun non-tunai, seperti PKH, BPNT, Rasta, dan yang sejenisnya sebelum BPS melakukan pengukuran.Â
Beragam bansos ini meningkatkan daya beli masyarakat; mendongkrak tingkat pengeluaran mereka hingga mendekati  atau melampaui garis kemiskinan.Â
Peningkatan jumlah nominal dan penerima program pemberian uang tunai dan pangan menjelang masa pemilihan berdampak cukup besar untuk menekan angka kemiskinan. Hasilnya, pemerintah terkesan sukses kurangi jumlah penduduk miskin.
Seperti yang bisa kita baca dalam banyak berita, pada setiap pemberitaan atau rilis BPS disebutkan bahwa salah satu penyebab turunnya angka kemiskinan adalah realisasi bansos. Begitu pula pada keterangan pers BPS terkini tentang pengukuran kemiskinan per September 2019. (5)
Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan, angka kemiskinan pada September 2019 sebesar 9,22 persen, turun 0,19 persen atau berkurang 358.900 jiwa dibandingkan Maret 2019. Ia menyebutkan empat faktor yang berkontribusi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin pada periode tersebut.Â
Yang pertama adalah kenaikan upah nominal buruh dan buruh tani. Faktor kedua adalah peningkatan nilai tukar petani berturut-turut sepanjang Juli hingga September.Â
Ketiga adalah rendahnya angka inflasi secara umum selama Maret - September 2019 dan penurunan harga eceran sejumlah komoditas pangan. Faktor keempat adalah realisasi program Bantuan Pangan non-Tunai (BPNT) pada Triwulan III 2019 yang meningkat sebesar 289 kabupaten/kota dari Triwulan I 2019 menjadi 509 kabupaten/kota.
Kita patut berterima kasih atas kinerja pemerintah untuk tiga faktor pertama. Tetapi faktor keempat perlu menjadi catatan serius sebab menurut saya hal tersebut tidak sungguh-sungguh mengeluarkan rakyat dari kemiskinan.Â
Perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat oleh adanya bantuan  seperti ini semu semata, tidak berbeda hakikatnya dengan pelaporan keuntungan oleh perusahaan asuransi Jiwasraya.
Apa yang terjadi jika pemerintah berganti dan program serupa tidak diteruskan? Apa yang terjadi jika pengetatan APBN memaksa pemangkasan anggaran untuk program tersebut? Bahkan tanpa harus berhenti, penyaluran yang terlambat saja dapat berdampak besar terhadap naiknya angka kemiskinan.
Pada Maret 2017, saat Mensos dijabat  Khofifah Indar Parawansa, terjadi keterlambatan penyaluran rastra. Hal tersebut menyebabkan angka kemiskinan pada pengukuran saat itu naik tajam 700ribu jiwa dibandingkan September tahun sebelumnya, menjadi 27,7 juta jiwa. Gara-gara itu, Presiden Jokowi marah-marah dan menegur Menteri Khofifah.(6)
Program serupa rasta, BPNT, atau jenis-jenis pemberian uang tunai dan nontunai yang bersifat konsumtif itu boleh diibaratkan infus glukosa kepada pasien di instalasi gawat darurat.Â
Dalam kondisi sakit parah, pasien susah makan. Untuk menjamin asupan energi diberikanlah injeksi glukosa melalui infus. Dengan pemberian infus glukosa, kita boleh berkata, "Syukurlah, ia tetap bisa mendapat pasokan energi." Tetapi kita tidak bisa bilang, "Thank's God, Â ia sudah sembuh."
Demikian pula dengan program-program di atas. Kita boleh merasa lega penduduk miskin dapat mengakses pangan dan sejumlah kebutuhan dasar lainnya.Â
Tetapi tidak sepatutnya kita menipu diri dengan menganggap bantuan tersebut membuat orang menjadi sejahtera. Dapat memenuhi kebutuhan dasar tidak sama dengan mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan dasarnya.
Saya tidak sedang menganjurkan agar pemerintah mengurangi anggaran untuk program-program tersebut, apalagi menghentikannya. Bagaimanapun, program-progam tersebut dibutuhkan.Â
Bukan cuma di negara berkembang seperti di Indonesia, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, program serupa dilaksanakan.
Di Amerika Serikat, program kupon makan (food stamp) -resminya bernama the Supplemental Nutrition Assistance Program (SNAP)- sudah direncanakan sejak 1930an dan resmi berlaku sejak 1960an serta merupakan salah satu kisah sukses Amerika Serikat. Saat ini setiap tahun SNAP membantu sekitar 42 juta rakyat miskin Amerika Serikat mengakses pangan. (7)
Seperti di Indonesia, program bantuan keuangan non-tunai untuk pangan ini berdampak "mengurangi tingkat kemiskinan"--dalam makna menaikkan tingkat konsumsi kebutuhan dasar (khususnya pangan) orang miskin Amerika Serikat-- sebesar 8 persen pada 2009.
Menurut Bank Dunia, secara global sekitar 36 persen penduduk sangat miskin di dunia bisa "diselamatkan" dari kemiskinan ekstrim oleh program-program bantuan seperti SNAP ini termasuk oleh rastra, PKH, BPN, dll  di Indonesia.
Jadi bukannya mengurangi anggaran dan jumlah penerima bansos, pemerintah justru wajib untuk memastikan kian banyak orang miskin di Indonesia terdata dan mendapatkan hak-haknya atas pangan dan beragam kebutuhan dasar lain.Â
Pemerintah juga boleh mengklaim kredit, memuji diri atas perbaikan pendataan individu dan rumah tangga yang berhak atas program-program "bansos" tersebut dan atas kian tepat sasaran dan tepat waktu penyalurannya.
Hanya saja, sepantasnya program-program "bansos" seperti ini ditempatkan sebagaimana hakikatnya, yaitu sebagai jaring pengaman sosial. Ya, JPS. Demikianlah nama generik dari program-program serupa ini ketika populer saat krisis ekonomi melanda Indonesia lebih dari dua dekade silam.
Bank Dunia menjelaskan safety net sebagai program yang "protect families from the impact of economic shocks, natural disasters, and other crises."(8) Kata kuncinya adalah krisis.
Yang namanya krisis selalu merupakan situasi temporer, bukan kondisi normal. Maka jaring pengaman sosial adalah pelindung rakyat dari jatuhnya tingkat kesejahteraan oleh karena krisis, oleh karena perubahan tiba-tiba yang sulit diantisipasi sebelumnya, melampauai kemampuan adaptasi individu atau rumah tangga.Â
Krisis tidak dimaknai terbatas pada kejadian besar seperti krisis ekonomi, bencana alam, atau perang. PHK atau habisnya masa kontrak kerja yang bersifat personal pun merupakan situasi krisis yang dihadapi individu pekerja dan keluarga yang ditanggungnya.
Karena hanya menjadi pelindung dari kondisi kejatuhan tingkat kesejahteraan yang tiba-tiba, program jaring pengaman sosial tidak bisa dijadikan ujung tombak pengentasan kemiskinan, bahkan sejatinya bukan program pengentasan kemiskinan.
Seperti halnya jaring pengaman secara harfiah yang digunakan pemain sirkus atau pekerja proyek-proyek konstruksi bangunan tinggi. Pengaman utama seorang pemain akrobat adalah kelincahan yang terbentuk oleh latihan panjang.Â
Sementara bagi pekerja proyek gedung tinggi adalah safetybelt. Tidak ada yang sukarela menghilangkan kehati-hatiannya atau membuka safetybelt hanya karena jauh di bawah sana telah terpasang jaring pengaman.
Seperti halnya membantu teman yang patah kaki oleh kecelakaan. Upaya utama kita haruslah diarahan kepada pemulihan dirinya. Bantuan kita memapahnya ke mana-mana atau mendorongkan kursi roda hanya bersifat sementara hingga kelak ia pulih dan bisa berjalan sendiri seperti sedia kala.Â
Demikian pula yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Program-program jaring pengaman sosial hanyalah serupa bantuan memapah atau mendorongkan kursi roda.Â
Tanggungjawab sejati yang dituntut adalah menjamin ketersediaan lapangan kerja, iklim berusaha, tingkat upah layak, serta akses terjangkau terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok.Â
Sebab berbeda dengan hewan peliharaan, setiap manusia memiliki kebutuhan atas tegaknya harkat dan martabatnya, yang salah satunya diperoleh dengan makan dari keringat sendiri.
Maka daripada terlalu bersemangat mengklaim kredit dari turunnya angka kemiskinan, Gubernur Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo sebaiknya segera mengecek detil, apakah turunnya tingkat kemiskinan di provinsinya disebabkan lebih banyak orang punya pekerjaan dengan upah yang lebih baik, atau sekadar karena lebih banyak beragam bansos transfer tunai dan tunai digelontorkan.Â
Cuma mengumbar turunnya angka kemiskinan tanpa membuka kondisi di baliknya dan melakukan sejumlah pembenahan tidaklah beda dengan aksi window dressing yang dilakukan para pengusaha kurang etis. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H