Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pengelolaan Taman Nasional Komodo Ditujukan untuk Komodo, Rakyat, atau Pemodal Besar?

30 Juli 2019   01:23 Diperbarui: 30 Juli 2019   20:13 2142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komodo (Varanus komodoensis) hidup liar di Pulau Rinca, Jumat (10/6/2016). Populasi komodo di Pulau Rinca yang merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo sekitar 2.800 ekor.(KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Tetapi semenjak Pulau Komodo berstatus kehadiran Cagar Alam pada 1960an, 'anak-cucu Gerong' hendak dijauhkan dari 'keturunan Ora'. Menjadi bertambah buruk saat status cagar alam berubah menjadi Taman Nasional; dan lebih buruk lagi ketika TNK diprivatisasi, diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan bisnis wisata-konservasi asal Amerika Serikat.

Kini, andai rencana Gubernur Viktor Laiskodat dilaksanakan, masyarakat Pulau Komodo, para 'anak-cucu Gerong' tak cuma terpisah selamanya dari 'keturunan Ora'. Lebih dari itu, mereka terpaksa meninggalkan tanah leluhur, meninggalkan mata pencaharian, berpisah dengan kenangan ratusan tahun.

Grace Susetyo dalam artikelnya, "Trouble in Paradise: Komodo Island, Tourism and Conservation" (indonesiaexpat.biz. 29/3/2017) menulis kesaksian Nuhung (80 tahun) tentang penyingkiran bertahap terhadap orang-orang Pulau Komodo oleh kebijakan konversasi berwatak ekofasis, dan lebih buruk lagi ketika konservasi hanya menjadi jubah kepentingan bisnis pariwisata.

Pada masa Cagar Alam, masyarakat masih diizinkan mengambil kayu, pelepah lontar, dan ilalang sebagai bahan membuat rumah. Penduduk Pulau Komodo juga masih boleh membuka kebun dan berburu hewan (babi hutan). Ketika Cagar Alam berubah status menjadi Taman Nasional (1982), penduduk dilarang memanfaatkan kayu di hutan untuk membangun rumah. Di saat bersamaan zona konservasi laut diperkenalkan.

Zona konservasi dibutuhkan untuk mencegah kerusakan terumbu karang akibat praktik penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Tetapi seringkali kebijakan ini tidak disertai pemetaan problem yang serius sehingga rakyat setempat, para nelayan artisanal yang jadi korban.

Di banyak tempat, pengguna bahan peledak adalah nelayan-nelayan yang datang dari pulau-pulau yang jauh. Sementara nelayan artisanal justru merawat wilayah perairan mereka, sebab mereka tak punya cukup sumber daya untuk berlayar mencari ikan hingga perairan yang jauh. Siapa yang sedemikian bodohnya membakar lumbung sendiri?

Kesalahan seperti ini serupa kebijakan konservasi hutan yang melahirkan konflik tapal batas dengan rakyat di pinggir kawasan. Para perusak hutan adalah orang-orang kota yang menebang pepohonan demi papan dan balok sebagai komoditi. Tetapi yang disingkirkan, dijauhkan dari hutan justru masyarakat tepi kawasan, komunitas yang mengambil kayu secukupnya untuk kebutuhan subsistens membangun rumah dan kayu bakar.

Padahal, komunitas masyarakat di tepi hutan lazimnya orang-orang yang menjaga kelestarian hutan sebab kehidupan mereka sangat bergantung kepadanya. Bukannya memberdayakan partisipasi masyarakat dalam menjaga kawasan hutan, pemerintah lebih suka mempekerjakan polisi hutan yang sangat mungkin khilaf terhadap godaan tawaran kerjasama penebang liar.

Seperti masyarakat pinggiran hutan, demikian pula orang-orang Pulau Komodo memiliki kearifan lokal turun-temurun dalam menjaga keberlanjutan alam, sumber penghidupan mereka.

"Nenek moyang kami bekerja mengumpulkan sumber daya alam sebatas kebutuhan. Mengumpulkan sumber daya alam berlebihan adalah tabu. Nenek moyang kami punya kepala suku yang bertugas menentukan musim penangkapan ikan. Mereka mencari tanda-tanda di alam yang mengindikasikan meningkatnya populasi ikan dan udang, dan mengadakan forum komunitas untuk menentukan syarat dan ketentuan musim penangkapan ikan dalam konsensus." Demikian Grace mengutip cerita Ridwan, ranger Taman Nasional Komodo tentang kebijaksaan orang-orang Pulau Komodo.

Tetapi konservasi berpendekatan ekofasis, apalagi bisnis wisata bertopeng konservasi menempatkan masyarakat lokal, para penjaga lingkungan sesungguhnya justru sebagai tersangka kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap keberlangsungan komodo, 'saudari kandung' sendiri. Maka semenjak Taman Nasional Komodo hadir 1980an, perlahan namun pasti, masyarakat Pulau Komodo diasingkan dari kehidupan berburu, bertani, dan menangkap ikan di laut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun