Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kabar Baik dan Buruk dari Neraca Dagang Pascateguran Jokowi terhadap 4 Menteri

15 Juli 2019   14:07 Diperbarui: 16 Juli 2019   10:01 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi dan Neraca Dagang RI [ilustrasi diolah dari Kompas.com dan Tribunnews.com]

Beberapa pekan lalu Presiden Joko Widodo menegur empat menteri dalam rapat kabinet. Mereka adalah Menteri ESDM Ignatius Johan, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, dan Menteri KLH Siti Nurbaya Bakar. Teguran itu berkaitan dengan defisit neraca dagang Indonesia.

Dalam pandangan Presiden Jokowi, faktor utama di balik problem defisit neraca dagang adalah tingginya impor minyak dan gas (ini sebabnya Menteri Johan dan Rini ditegur) dan lambatnya perizinan investasi mampet di Kementerian KLH dan dan Kementerian ATR/BPN.

Wajar Jokowi menegur menteri-menterinya dalam soal ini. Defisit neraca dagang memang kerisauan utama pemerintahan Jokowi. Pada April 2019 defisit menyentuh angka tertinggi kedua sepanjang sejarah Republik Indonesia, mencapai 2,28 miliar USD. 

Yang tertinggi pada Juli 2013, sebesar 2,33 miliar dolar AS ("Ada Revisi, Neraca Dagang Era Jokowi Batal Jadi Yang Terparah." CNBCIndonesia.com. 24 Juni 2019).

Defisit neraca dagang mempengaruhi nilai tukar rupiah. Kian lebar defisit, kian tertekan nilai tukar rupiah. Selanjutnya, lemahnya nilai tukar rupiah berdampak pada kenaikan harga barang yang mengandung komponen impor. 

Ujungnya, kenaikan harga barang berarti tergerusnya nilai riil pendapatan rakyat, alias tingkat kesejahteraan rakyat turun.

Sebaliknya, defisit neraca dagang adalah indikator lemahnya pembangunan industri nasional. Industri nasional  kuat berarti lebih banyak barang yang diekspor dan lebih sedikit kebutuhan mengimpornya, berdampak pada surplusnya neraca dagang.

Defisit neraca dagang dan problem turunannya merupakan titik terlemah pertahanan Jokowi dari serangan kubu Prabowo-Sandiaga dalam masa kampanye pilpres 2019.

Hari ini, Senin (15/7/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca dagang Indonesia surplus. Ini adalah kabar baik sebab berarti sudah dua bulan berturut-turut (setelah April defisit menyentuh titik tertinggi kedua dalam sejarah) neraca dagang RI surplus ("Neraca Dagang RI Juni 2019 Surplus Lagi, Capai US$ 200 Juta." CNBCIndonesia.com. 15 Juli 2019).

Sayangnya tepuk tangan kita tidak bisa terlampau bergemuruh. Surplus neraca dagang Juni bukanlah prestasi yang patut dibanggakan. Untuk sekadar menghela napas lega, bolehlah.

Ada sejumlah hal yang menyebabkan kita tidak bisa menilai surplus Juni sebagai prestasi. Perhatikan angka-angka dalam tabel olahan data dari website BPS berikut.

Ekspor-Impor 2019 dan Perbandingan dengan Nilai Ekspor 2018
Ekspor-Impor 2019 dan Perbandingan dengan Nilai Ekspor 2018

Angka-angka itu bercerita sejumlah kenyataan merisaukan.

Pertama, dibandingkan Juni 2018, nilai ekspor kita masih lebih rendah 1,16 miliar dolar AS.

Kedua, dibandingkan Mei 2019, nilai ekspor kita turun 3,04 miliar dolar AS.

Tiga, secara kumulatif, semester pertama 2019, neraca dagang masih defisit 2,13 miliar dolar AS.

Empat, dibandingkan semester pertama 2018, nilai ekspor 2019 turun 19,31 miliar dolar AS.

Angka dalam tabel juga menyiratkan kelemahan perdagangan internasional kita, yang salah satunya terletak pada produk ekspor Indonesia didominasi raw material, barang mentah sebagai bahan baku industri di negara lain. Karakter raw material biasanya bulky: volumenya besar dan berat, nilainya cetek. Itu sebabnya meski volume ekspor sekitar 4 kali lipat volume impor, nilainya justru lebih rendah.

Nilai ekspor bisa ditingkatkan bukan cuma dengan memperbanyak barang yang diekspor, melainkan melakukan pengolahan (manufacturing) di dalam negeri.

Adalah ironi jika kita menjual barang mentah ke negeri industri maju, lantas mengimpor kembali sebagai aneka barang jadi. Itu berarti kita membayar nilai tambah yang dihasilkan industrialis dan buruh negeri-negeri maju.

Lantas apa solusinya?

Jokowi paham jalan keluarnya. Saat berada di NTT, ia katakan, kuncinya ada pada hilirisasi. "Jangan sampai kirim barang mentah, raw material. Kuncinya di situ aja." ("Neraca Dagang Defisit Parah, Jokowi: Saya Sudah Sampaikan!" CNBCIndonesia.com. 20 Mei 2019).

Saya setuju 100 persen. Jadi pekerjaan rumah Presiden Jokowi 2019-2024 bukan pada membuka pintu seluas-luasnya bagi investasi. Yang lebih tepat adalah mendorong investasi mengarah pada industri pengolahan, bukan lagi-lagi industri keruk sumber daya alam yang lebih banyak eksternalitasnya pada kerusakan lingkungan dan konflik agraria. 

Semoga demikian cara yang benar dalam memaknai poin ketiga Visi Indonesia yang disampaikan Jokowi minggu kemarin.

Maka teguran Presiden Jokowi pekan lalu semoga tidak membuat Menteri Siti Nurbaya Bakar dan Sofyan Djalil ugal-ugalan melepas izin, mengorbankan kawasan hutan dan lahan ulayat rakyat bagi investasi perusak lingkungan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun