Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kuli dan Kuliah, Modus Baru Ekspor TKI Murah (Soal NTT dan Taiwan)

9 Januari 2019   19:14 Diperbarui: 11 Januari 2019   04:21 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buruh sambi kuliah yang akan berangkat ke Taiwan [Republika.co]

Pengusaha lebih senang mempekerjakan buruh asing karena bersedia dibayar murah, tanpa fasilitas  asuransi; juga tak keberatan bekerja lembur terus-menerus.

Demi mempertahankan tingkat upah, serikat buruh di Taiwan memaksa pemerintah mempertahankan quota buruh asing, dan memberlakukan tingkat upah setara antara buruh domestik dan buruh asing (imigran).

Di sisi lain, Pemerintah Taiwan memiliki kebutuhan untuk menarik kembali investor, terutama manufaktur produk-produk teknologi tinggi dari China daratan (RRC) kembali ke Taiwan. Mereka melihat peluang, inilah saatnya sebab tren kenaikan upah buruh di Tiongkok (RRC) membuat modal asing berpikir-pikir untuk hengkang ke negara dengan tingkat upah lebih rendah. Untuk menarik kapital pulang kampung, buruh murah harus disediakan.

Buruh murah itu, terutama pekerja imigran bukan hanya tuntutan pemodal Taiwan agar mau pulang kampung. Ini pula ancaman para pemodal yang masih memiliki pabrik di negeri itu.

"Kalau tak ada buruh yang sesuai kebutuhan, kaupindah saja ke Kamboja atau Vietnam," kata Alan Su, bos Sun Race Sturmey-Archer Inc.

Sayangnya, manufaktur produk teknologi butuh buruh kerah biru berpendidikan cukup tinggi. Jika mereka buruh domestik, sudah tentu lebih tinggi pula tuntutan tingkat upahnya.

Pada kondisi inilah, program double-track kuliah-magang  Industry-Academia Collaboration yang ditawarkan ke negeri-negeri Asia yang lebih miskin jadi jalan keluar tricky. Merekrut buruh migran berstatus kerja mahasiswa magang, pebisnis dan pemerintah Taiwan berharap bisa mengelabui serikat buruh Taiwan. Plus, mahasiswa magang internasional adalah tenaga kerja murah dan bersedia bekerja lembur hingga 40 jam per minggu.

Dengan cerdas, agar tidak bertentangan dengan aturan batasan jam kerja 20 jam per minggu, dibuatlah dua golongan waktu kerja. Internship atau magang cuma 20 jam per minggu; yang 20 jam lainnya adalah kerja lembur yang boleh diambil, boleh juga tidak.

Namun para buruh (yang sambil kuliah) negara-negara Asia sudah tentu senang mendapatkan 40 jam kerja. Tak ada paksaan, tak perlu bentrok dengan serikat buruh Taiwan, manufaktur produk teknologi di Taiwan mendapat buruh sesuai kebutuhan mereka.

Ini yang menjelaskan mengapa kampus-kampus Taiwan yang terlibat program Industry-Academia Collaboration adalah kampus-kampus teknologi dan science seperti Lunghwa University of Science and Technology, Ming Hsin University of Science and Technology, dan Chien Hsin University of Science and Technology. Memang yang membutuhkan buruh asing berpendidikan cukup adalah manufaktur produk teknologi. Cocok!

Dalam soal upah, seperti Indonesia, Taiwan adalah negara yang memberlakukan sistem upah minimum. Hebatnya, atas desakan kaum buruh Taiwan, tingkat upah buruh pekerja asing dan pekerja domestik setara. Official-nya begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun