Jenderal Gatot tentu paham dan pernah mendengar ujar-ujaran asing "a man of his word." Ujar-ujaran itu kira-kira bermakna seseorang dihormati karena konsistensi antara kata dan tindakannya, antara tindakan kemarin, hari ini, dan esok.
"A man of his word" merupakan salah satu keutamaan seorang ksatria. Bukankah dahulu prajurit itu ksatria?
Ketika Jenderal Gatot Nurmantyo purnatugas dengan jabatan terakhir Panglima TNI, ia mencoba peruntungan di dunia baru, dunia politik.
Gatot segera membangun citranya sebagai seorang tentara yang dekat dengan umat Islam, terutama segmen puritan dan berseberangan dengan pemerintahan Joko Widodo.
Dalam beberapa kesempatan berbicara di hadapan kelompok itu, Gatot Nurmantyo menyampaikan hal-hal yang mengesankan ia korban yang tak disukai rezim yang berkuasa. Demikian pula dalam unggahan statusnya di media sosial. Gatot Nurmantyo bahkan pernah mengatakan mereka akan menangkapnya dan pengawalnya sudah dicopot meski ia memilik hak untuk itu (Tribunnews.com, 18/07/208).
Mereka dalam pernyataan Gatot ini tentu saja pemerintah sebagai operator negara.
Ada tiga kemungkinan motif Gatot menampillkan citra berseberangan dengan pemerintah.
Pertama ia memang ditugaskan untuk itu, untuk merangkul kalangan puritan agar diterima dan kelak memimpin mereka.
Ini adalah cara untuk mengambilalih kepemimpinan kelompok tersebut. Berpura-pura menjadi kawan, diterima, memimpin, dan akhirnya menentukan arah perjuangan kelompok tersebut, memoderasinya.
Jika motif Gatot adalah yang pertama ini, patut diduga Jokowi tahu dan merestui.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!