Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tradisi Keliling Membangunkan Sahur, Hilang atau Hanya di Kampung?

5 Juni 2018   13:05 Diperbarui: 5 Juni 2018   13:12 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari tagar.id

Serombongan orang, sebagian besar remaja, berjalan keliling kampung.  Berselempang sarung pundak, mereka membawa senter, obor, dan kentungan bambu. Rombongan itu menyusuri jalan kampung. Setiap beberapa meter mereka pukulkan kentungan dalam ritme sedang 3 ketukan, "tung ... tung ... tung," sambil berteriak, "Sahur...sahur."

Adegan itu pernah saya lihat di dalam sinetron dan berita di tv. Kata orang-orang begitulah tradisi di kampung-kampung zaman dahulu. Tetapi saya belum pernah mengalami langsung yang seperti itu.

Saya pernah tinggal di beberapa kota. Setahun di Yogya, beberapa tahun di Bandung, beberapa tahun di Jakarta, dan bertahun-tahun di kota kelahiran saya, kota domisili saya saat ini. Apa yang saya saksikan jauh dari gambaran peristiwa seperti pada paragraf teras.

Di Yogyakarta, indekos di Pandega Marga, tak jauh dari Ring Road Utara, saya beberapa kali mendengar orang memukul kentungan dan berteriak, "sahur ... sahur." Tetapi saya tak pernah melihat ada serombongan besar orang berjalan keliling kampung, membawa obor dan senter sambil teriak-teriak.

Di Bandung beberapa kali 3-4 remaja melewati gang di depan kos saya di Kebon Kembang, kawasan dalam Taman Sari. Mereka berteriak, "Sahur ... sahur." Tak ada yang memukul kentung-kentung. Anak-anak itu juga tidak melakukannya setiap hari, sepertinya hanya pada seminggu pertama Ramadan. Setelah itu tak lagi.

Di Jakarta, di daerah Rawajati, beberapa langkah dari mall Kalibata, saya bahkan tidak pernah mendengar orang-orang meneriakkan sahur. Bisa jadi ada tetapi mungkin suara mereka tertutup bising kendaraan yang pada pagi gulita seperti itu masih cukup ramai hilir mudik. Atau bisa saja kesadaran saya sedang tak utuh. Jika bukan karena terlelap, mungkin karena dirampok persekutuan anggur kolesom dan bir.

Hal serupa di kota-kota yang ketika saya kunjungi kebetulan sedang dalam masa puasa. Misalnya di Surabaya. Saya pernah berada di sana sebulan selama Ramadan. Saya mengontrak di daerah Gubengan, di jalan Jawa jika tak salah ingat. Pada Ramadan tahun lainnya, saya menginap di hotel-hotel di kawasan Jemursari.

Selama beberapa kali kesempatan mengalami Ramadan di Surabaya, yang saya tahu hanya ada orang memukul tiang listrik dan berseru dua kali, "sahur ... sahur." Begitu saja. Tidak ada rombongan besar berkeliling kampung, pukul kentungan dan berteriak-teriak.

Mungkin memang seperti yang kawan saya katakan dalam artikel "Sahur Pertama Bersama Kawan." Sudah ada tanda dari masjid berupa azan pertama sebelum azan subuh. Azan yang disuarakan saat fajar palsu, yaitu ketika langit terang Zodiacal light atau  false dusk. Kata Asep, azan saat itu berguna untuk membangunkan orang sahur.

Kalau di kota domisili saya memang tidak ada orang yang bangunkan sahur. Sangat mungkin sebabnya karena tidak banyak keluarga muslim. Di depan rumah saya hanya satu keluarga. Tidak mungkin mereka berteriak, "Sahur ... sahur" untuk membangunkan diri sendiri, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun