Tempo hari saya pernah menulis persoalan bahasa politik penuh kebohongan para politisi kita (Baca "Elit Politik Merusak Bahasa") Tetapi rupanya bukan kebohongan itu penyakit paling parah para politisi. Ada yang lebih mendasar dan memprihatinkan: penalaran mereka yang fakir dan compang-camping.
Perdebatan terkait kebijakan daftar 200 nama mubalig oleh pemerintah bisa kita jadikan contoh.
Beberapa politisi yang menentang kebijakan ini telah berargumen tanpa penalaran memadai. Mereka mempersenjatai posisi dengan argumentasi yang tidak pada tempatnya, yang membawa masalah ini keluar dari konteksnya, dari hal-ikhwal.
Contohnya pernyataan politisi PAN yang juga ketua MPR Zulfiki Hasan dalam acara acara Indonesia Lawyer Club di TVOne bertema ""Menunggu UU Anti Terorisme: Perlukah Ulama 'Dilitsus' Menag?" belum lama ini.(tribunnews) Pak Zulfiki berargumentasi menolak kebijakan Kemenag dengan menyeret-nyeret agama lain. Ini adalah cara berargumentasi dengan penalaran yang tidak pas.
Tetapi sebelum membahas kondisi fakir nalar pada politisi parlemen, terutama kelompok oposisi, adalah lebih baik kita bahas dulu kondisi fakir nalar pada politisi dalam pemerintahan.
Pada dasarnya seluruh menteri, baik berlatar belakang anggota parpol atau yang berangkat dari kalangan profesional adalah politisi. Pemerintah adalah institusi politik. Unsur-unsurnya, para menteri itu adalah politisi. Tugas mereka membuat policy dan memastikan pemberlakuannya dengan kekuasaan negara.
Berbeda dengan para PNS. Jabatan tertinggi eselon 1 di kementerian pun adalah birokrat. Birokrat adalah administratur, bukan politisi. Mereka di sana selamanya (hingga pensiun) untuk mengimplementasikan kebijakan para politisi yang berganti-ganti saban 5 tahun.
Jurus Ngeles Argumentasi Menteri Lukman
Polemik sertifikasi ulama ini sebenarnya bukan berangkat dari edaran 200 nama mubalig penceramah Ramadan yang dikeluarkan Kementerian Agama. Polemik ini bermula dari pernyataan Menteri Lukman pada akhir Januari 2017 tentang standarisasi penceramah. Karena itu tidak salah jika media massa melakukan framing kebijakan rekomendasi mubalig itu sebagai sertifikasi ulama. Demikian juga tidak keliru para politisi oposisi menempatkannya demikian. Tak perlu Pak Menteri susah payah ngeles.
Kamis 26 Januari 2017, Menteri Lukman mengatakan---diberitakan banyak media nasional--- kementerian sedang bekerja keras merumuskan kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan sebagai standar penceramah. Akan ada semacam sertifikasi bagi penceramah yang dianggap layak dan memenuhi kualifikasi. Standarisasi itu dilakukan untuk mencegah intoleransi dan kebencian antara umat beragama.(Kompas.com, 26/01/2017)