Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Calon Presiden dan Eksekusi Perdata Yayasan Supersemar

21 Mei 2018   16:44 Diperbarui: 22 Mei 2018   08:40 2971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah dari kompas.com dan cnnindonesia.com

Dari sekian banyak warisan persoalan Orde Baru, yang tampaknya sepi perhatian publik adalah kasus korupsi Yayasan-Yayasan Soeharto. Saya tidak sangka jika keputusan pengadilan tentang pengembalian 75% dana kasus itu belum selesai juga. Padahal sejumlah pemilik perusahaan penerima dana saat ini memimpin partai, bahkan menjadi calon presiden.

Diberitakan cnnindonesia.com baru saja (21/5), pengembalian dana yang disalahgunakan Yayasan Supersemar hingga 2018 baru mencapai Rp 241,8 miliar dan masih tersisa Rp 4,2 triliun.

Padahal proses hukum atas kasus ini sangat panjang, bermula dari temuan Tim Kejagung dan pembentukan Tim Investigasi Kekayaan Soeharto pada pada awal September 1998 dan dikeluarkannya Inpres 30/1998 tentang Pengusutan Kekayaan Soeharto oleh presiden Habibie. Desember 1998, Jaksa Agung menjelaskan temuan kekayaan sejumlah yayasan Soeharto mencapai Rp4,014 triliun. Pada Februari 1999, Soeharto mengembalikan uang negara sebesar Rp5,7 triliun. 

Kuatnya perlawanan dari loyalis Cendana yang masih bercokol di pemerintahan membuat proses pengusutan dan penuntutan terhenti. Kejagung mengeluarkan SP3 pada 11 Oktober 1999 tetapi dibuka kembali oleh Presiden Gus Dur pada 6 Desember 1999.

Soeharto dinyatakan sebagai tersangka pada 31 Maret 2000 dan menjadi tahanan kota kemudian tahanan rumah di akhir April. Pada 30 Agustus 2000, Soeharto menjadi terdakwa. Sejak itu Soeharto sakit dan mangkir dari persidangan. MA akhirnya mengeluarkan keputusan pengadilan terhadap Soeharto tidak dapat dilakukan.

Beruntunglah, pada 27 Maret 2008, PN Jaksel mengabulkan gugatan  Kejagung, menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp46 miliar. Karena Soeharto telah meninggal, tanggung jawab itu jatuh kepada keluarganya selaku ahli waris. Keputusan ini ternyata salah ketik, kurang angka nol sehingga Jaksa mengajukan PK.

Pada Juli 2015, MA mengabulkan PK Jaksa dan menolak PK Yayasan Supersemar. Dengan demikian, keluarga Soeharto harus membayar ganti rugi kepada negara Rp 4,4 triliun. (Disarikan dari cnnindonesia.com).

Mengetahui informasi sebatas ini, jelas saya jengkel. Proses pengusutan hingga keputusan MA butuh waktu 17 tahun. Ketika keputusan MA telah keluar, eksekusinya belum juga tuntas setelah hampir 3 tahun.

Yang bikin tambah marah adalah sejumlah perusahaan penerima Dana Supersemar dimiliki oleh Pak Prabowo (PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp 150 miliar) dan Pak Tommy Soeharto (PT Sempati Air Rp 13,173 miliar).  Kan kedua orang itu mendirikan partai. Pak Prabowo bahkan mau maju calon presiden 2018. Artinya mereka punya uang. Kenapa tidak disita saja dari mereka? Demikian pikir saya.

Jika tidak berhati-hati, saya tentu sudah mempersalahkan pemerintahan Pak Jokowi, menulis status di facebook atau twitter, "Payah. Rezim ini sama saja memblenya. Mandul di hadapan kekuatan Cendana. Ternyata cuma pelanjut Orde Baru."

Beruntunglah saya tidak buru-buru melakukan ini dan memilih menelusuri lebih lanjut.

Rupanya setelah keputusan MA Juli 2015, Yayasan Supersemar kembali melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan ke PN Jaksel. Keputusan PN Jaksel pada Juni 2016 mengabulkan sebagian gugatan Yayasan Supersemar sehingga jumlah aset yang akan dieksekusi hanya berkisar Rp 309 miliar hingga Rp 706 miliar. Turun jauh, hanya berkisar 9-20 persen dari nilai yang diputuskan MA.

Karena itu Kejaksaan Agung melayangkan kasasi ke MA pada Juli 2017. Baru pada 19 Oktober 2017 keputusan MA keluar dengan memenangkan gugatan Kejagung. Dengan demikian jumlah aset yang harus dieksekusi kembali ke semula, Rp 4,4 triliun. (Kompas.com)

Pada 11 Januari 2018 lalu, Ketua PN Jaksel telah mengeluarkan penetapan pengabulan permohonan eksekusi lelang dan pencarian rekening Yayasan Beasiswa Supersemar. (Kompas.com) Itu berarti proses eksekusi harta kekayaan Soeharto hasil penyelewengan dana Yayasan Supersemar sudah kick-off.

Om-Tante kecele dengan judul artikel ? Tak banyak kupas soal capres? Salah Om-Tante sendiri. Om-Tante terlalu bergairah berpolitik sih. Sayangnya politik Om-Tante sekedar politik cheerleader, politik suporter bola. Asal ramai.

Artikel ini sebenarnya bertujuan memetik pelajaran. Pertama untuk konteks pribadi kita. Jangan buru-buru ambil kesimpulan lantas menulis tanpa dasar di media sosial. Akan malu sendiri kita nantinya.

Kedua, negara ini menganut trias politika. Pemerintah bukan pemegang palu atas semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Urusan pengadilan terhadap koruptor dan eksekusi atas harta-kekayaannya adalah domain pengadilan. Tangan pemerintah hanya kepolisian dan kejaksaan, bukan pengadilan. Meskipun harus diakui, dalam konteks deep state atau shadow state, kekuasaan yudikatif dan eksekutif lazim berselingkuh.

Prinsip peradilan yang independen penting untuk dijaga meski seringkali keputusannya terasa tidak adil bagi rakyat banyak. Tetapi jika kita---demi percepatan pemberantasan korupsi---hendak mengaburkan batasan ini dan menuntut pemerintah (politik) untuk secara sewenang-wenang mengambilalih wewenang lembaga peradilan, ke depan kita mungkin yang akan jadi korban, seperti semasa Orde Baru dahulu.

***

Tilaria Padika

21052018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun