Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Kopi Sedunia dan Kenangan Rabu Berdarah

2 Oktober 2017   01:53 Diperbarui: 2 Oktober 2017   02:17 3914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: instagram.com/cerocoffee

Anda tentu kenal kopi, sekalipun mungkin bukan penikmat kopi. Boleh jadi Anda juga tahu jika sejak 2014, 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kopi Sedunia. Tetapi tahukah Anda, Kopi Arabika Flores jenis Juria dan Yellow Caturra yang menjuarai banyak festival itu mungkin tidak akan mengisi cangkir Anda tanpa darah petani tumpah demi mempertahankannya?

Tahun 2002-2004 lampau, pemerintah Manggarai (Kabupaten di Barat Pulau Flores) di bawah pimpinan Bupati Anton Bagul menyelenggarakan kampanye "penertiban kawasan hutan." Dalam pandangan bupati, petani telah melanggar tapal batas, memanfaatkan kawasan hutan untuk membudidayakan beragam tanaman komoditi, terutama kopi. Petani punya pandangan lain. Mereka hanya menghormati tapal batas lama. Tapal batas baru hasil rekonstruksi 1993 tidak mereka akui sebab ditetapkan tanpa sepengetahuan petani dan merangsek maju mencaplok kebun-kebun petani.

Konflik pun pecah. Pemerintah mengambil langkah tegas, melakukan pembabatan tanaman rakyat, terutama kopi, di seluruh wilayah Manggarai dan Manggarai Timur (saat itu masih satu kesatuan administratif kabupaten, hanya Kabupaten Manggarai Barat yang telah berdiri sendiri). Polisi dan orang bayaran dikerahkan. Petani tidak tinggal diam, terutama yang bergabung di dalam Serikat Petani Manggarai (SPM), segera melakukan aksi-aksi penghadangan. Di banyak tempat perlawanan petani dapat dikalahkan. Pemimpin-pemimpin setempat ditangkap dan ditahan selama beberapa lama. Sekitar 1.000 ha kebun kopi petani Manggarai, terbentang di wilayah yang diklaim pemerintah sebagai RTK 111 hingga RTK 118 dibabat.

Di Pocoranaka, terutama di Desa Rendenao dan Desa Uluwae (terdapat 4 kampung besar: Colol, Biting, Tangkul, dan Welu, yang seluruhnya lebih dikenal sebagai masyarakat Colol), rakyat  melakukan aksi pagar betis untuk melindungi hutan kopi mereka dari pembabatan lanjut. Sebelumnya pemerintah telah berhasil membabat kopi di 29 lokasi kebun ulayat. Sekitar 750 Ha total luasnya. Menurut kisah rakyat Colol, polisi berupaya membubarkan aksi pagar betis itu dengan menembaki mereka tetapi tidak satupun peluru dapat melukai rakyat. 

Mungkin saat itu yang ditembakkan adalah peluru hampa. Sebaliknya, tiba-tiba dari dalam hutan keluar sepasang babi hutan, melewati celah kaki rakyat dan segera menerjang barisan polisi, preman bayaran, dan operator mesin sensor. Aparat dan preman bayaran terpaksa membubarkan diri.

Orang Colol memang identik dengan kopi. Wilayah ini termasuk perkebunan kopi tertua di Manggarai, sudah ada sejak sekitar 1920an. Perkebunan kopi di Colol pernah mendapatkan penghargaan di masa pemerintahan kolonial Belanda karena memenangkan "Pertandingan Keboen 1937 Mangggarai". Sebagian masyarakat di sana bahkan percaya jika ada nenek-moyang mereka yang menjelma menjadi sepasang babi hutan dan menghuni hutan kopi. Dari wilayah inilah hampir separuh kopi Manggarai dihasilkan.

Kemenangan kecil perlawanan petani kopi di Colol tidak bisa dibiarkan sebab akan membangkitkan moral perlawanan petani di desa-desa lain di Manggarai. Pemerintah Manggarai paham itu. Karena itu, Selasa 9 Maret 2004, Bupati Anton Bagul memimpin sendiri patroli ke kawasan Colol. Dua perempuan dan 5 lelaki Colol ditangkap di kebun mereka saat sedang menggali ubi untuk pakan babi.

Keesokan harinya, Rabu 10 Maret 2004, seratusan petani kopi dari 4 kampung itu berangkat ke Ruteng ibu kota Kabupaten Manggarai untuk menuntut polisi membebaskan ibu, istri, dan saudara-saudari mereka. Di Mapolres, pasukan polisi bersenjata senapan tempur telah menunggu.

Juru bicara petani sedang melakukan negosiasi dengan aparat kepolisian ketika letusan tembakan pertama itu terdengar dan mengenai paha seorang petani yang sedang turun dari truk. Petani panik dan berlarian. Ada yang berlari menjauh dari mapolres, ada juga yang mengikuti arahan orang tak dikenal di dalam mapolres untuk berlari ke belakang gedung utama Mapolres. Na'as bagi mereka yang mengikuti arahan itu. Beberapa orang segera disambut hujan tembakan dan tewas seketika. Sepasang Bapak-Anak tewas dalam kondisi berpelukan. Kelak di pengadilan, kepolisian telah mempersiapkan pembelaan diri bahwa mereka melakukan itu karena petani hendak menguasai gudang senjata.

Sebagian lain diberondong tembakan dari belakang ketika telah ratusan meter jauhnya dari Mapolres. Petani-petani itu tidak ditembak ketika berada dalam keadaan panik di Mapolres. Sebagian besar ditembaki saat berlarian membubarkan diri menjauh dari Mapolres atau mengikuti arahan orang di dalam Mapolres untuk berlari ke halaman belakang Mapolres.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun