Mohon tunggu...
Tikha Novita Sari
Tikha Novita Sari Mohon Tunggu... Lainnya - Tutor Bimbel, Guru Privat, Freelance Writer

📝 Jatuh cinta sama kutipan ini: "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." - Pramoedya Ananta Toer -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nostalgia Sejarah Jogja di Titik Nol Kilometer

5 Maret 2020   15:49 Diperbarui: 5 Maret 2020   21:14 1805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto lama Kantor Pos Besar | Doc: KLITV LEIDEN

Kamu sering lewat kawasan Titik Nol Kilometer tapi belum pernah menengok sejarahnya? Nah beberapa minggu lalu saya sengaja singgah ke sini untuk bernostalgia mengenai sejarah kawasan jantung kota Yogyakarta ini. Dalam event ke-7 Kompasiana Jogja, saya dan teman-teman Kompasianer #dolanheritage ke Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Banyak cerita sejarah kawasan Titik Nol Kilometer yang dikisahkan oleh Yulia Sujarwo seorang tour guide sekaligus penulis yang menyukai sejarah ini.

Titik Nol Kilometer Yogyakarta berada di pusat Kota Yogyakarta, tak jauh dari Jalan Malioboro. Kawasan ini merupakan pertemuan dari Jalan A. Yani, Jalan KH Ahmad Dahlan, Jalan Panembahan Senopati, dan ruas jalan menuju Alun-alun Utara (Keraton). Bisa dibilang Titik Nol Kilometer adalah denyut nadi kota Jogja.

Peserta berfoto di depan Bank Indonesia | Doc: Riana
Peserta berfoto di depan Bank Indonesia | Doc: Riana
Yah lokasi ini berada di jantung Jogja sehingga kemanapun kamu akan pergi, titik ini selalu menjadi patokannya. Jika hanya menjadi patokan untuk menuju ke berbagai tempat tanpa pernah menikmati keindahan Titik Nol KM, kamu tidak akan mengenal Jogja dengan baik. Karena Titik Nol KM begitu ikonik dan mempesona dengan tampilannya saat ini.

Spot ini selain sebagai pusat yang menghubungkan ke berbagai rute di Jogja juga sangat dekat dengan sejarah dan kebudayaan Jogja. Sebagai sebuah persimpangan yang terdiri dari empat jalur, di setiap sisinya terdapat bangunan yang bersejarah. Yah kawasan ini merupakan salah satu saksi bisu sejarah panjang dari negeri ini.

Titik Nol Kilometer bisa disebut sebagai Eropanya Jogja. Alasannya karena kawasan ini dikelilingi oleh bangunan kuno yang menjadi cagar budaya. Jadi tak heran jika banyak bangunan peninggalan Belanda yang disebut 'Loji' terletak di kawasan Titik Nol Kilometer.

Peserta mendengar penjelasan tentang Titik Nol Kilometer | Doc: Pak Eko
Peserta mendengar penjelasan tentang Titik Nol Kilometer | Doc: Pak Eko
Menikmati pesona Eropa-nya Jawa di sini membuat kamu akan bernostalgia ke masa lalu. Ditambah pemandangan lampu vintage yang ada di sini. Titik Nol Kilometer akan semakin ramai dikunjungi pada malam hari. Banyak tersedia bangku-bangku taman untuk tempat duduk santai sambil ngobrol dan menikmati suasana malam kota Jogja. Di sini kamu juga bisa mengabadikan momen di spot-spot foto yang menarik. 

Saat senja menjelang, kawasan ini akan dipenuhi oleh muda-mudi dan para wisatawan yang ingin menikmati suasana Jogja. Pemusik dan penyanyi jalanan siap menghiburmu tatkala malam tiba. Sembari bersantai, kamu pun bisa menikmati aneka penganan yang dijajakan oleh pedagang kaki lima.

Sebagai jantung kota Jogja, kawasan Titik Nol Kilometer selalu diramaikan dengan beragam atraksi seni budaya hingga aksi massa. Aneka karnaval meriah dan pawai budaya tingkat daerah hingga tingkat internasional kerap dilakukan di tempat ini. Kegiatan tersebut menjadi agenda rutin yang dilangsungkan tiap tahun. Berbagai komunitas di Yogyakarta juga kerap unjuk gigi di sekitar kawasan Titik Nol Kilometer.

Peserta berfoto di depan Benteng Vredeburg | Doc: Riana
Peserta berfoto di depan Benteng Vredeburg | Doc: Riana
Jika mendeskripsikan kawasan ini, Titik Nol Kilometer bukan hanya sekedar pusat keramaian di Yogyakarta. Terdapat mitos yang terselip di dalamnya. Yah Titik Nol Kilometer Yogyakarta mempunyai mitos garis sumbu imajiner yang menghubungkan antara pantai Laut Selatan, Keraton hingga Gunung Merapi. Selain garis imajiner, Yogyakarta juga memiliki sumbu filosofis, yakni Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak yang dihubungkan secara nyata berupa jalan.

Panggung Krapyak ke utara menuju ke Keraton melambangkan perjalanan manusia dari bayi lahir hingga dewasa, sedangkan dari Tugu ke Keraton melambangkan perjalanan manusia kembali ke Sang Pencipta. Sumbu filosofis itu mempunyai makna hubungan antara manusia dan Tuhannya, manusia dengan sesama serta manusia dengan alam.

Foto lama Gedung Agung | Doc: KLITV LEIDEN
Foto lama Gedung Agung | Doc: KLITV LEIDEN
Sebagai kawasan jantung Yogyakarta, baik sosial dan ekonomi. Titik Nol Kilometer menjadi saksi bisu sejarah peristiwa penting di Jogja, yakni didirikannya Keraton Yogyakarta, peristiwa perang melawan tentara Inggris dalam Geger Spoy, Agresi Militer Belanda dan peristiwa sejarah lainnya.

Yah kawasan di sekitar Titik Nol Kilometer merupakan kawasan penting pada masa lalu hingga kini. Sebut saja Gedung Bank BNI, Gedung Bank Indonesia, dan Gedung Kantor Pos Besar yang berdiri gagah ini menjadi landmark di Titik Nol Kilometer. Dari mbak Yulia Sujarwo saya pun mengetahui jika di sekitar Nol Kilometer dahulu terdapat kawasan taman yang indah dan perumahan warga Belanda serta Eropa. Namun sekarang sudah hilang tak berbekas. Bundaran air mancur yang berada di Titik Nol Kilometer pun sudah tidak bisa di lihat lagi saat ini.

Kantor Pos Besar dan Gedung Bank BNI malam hari | Doc: Pribadi
Kantor Pos Besar dan Gedung Bank BNI malam hari | Doc: Pribadi
Tepat di depan gedung Kantor Pos Besar, kamu akan menemukan Monumen Serangan 1 Maret yang saat ini kerap digunakan sebagai tempat pergelaran seni dan budaya. Di belakang Monumen Serangan Umum 1 Maret terdapat Museum Benteng Vredeburg yang dahulu lebih dikenal sebagai Benteng Rustenburg. Benteng ini dibangun pada tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I atas permintaan Belanda. Sedangkan di seberang benteng ada Istana Kepresidenan Gedung Agung tempat bersejarah yang juga penting di Jogja.

Sebelum difungsikan sebagai istana kepresidenan, Gedung Agung merupakan kantor sekaligus tempat tinggal Residen Belanda. Bangunan ini pun sempat berpindah tangan ke pemerintahan Jepang, sebelum akhirnya diambil alih oleh Indonesia dan dijadikan istana kepresidenan. Gedung yang mulai dibangun pada Mei 1824 ini menempati lahan seluas 43, 575 meter persegi. Hingga sekarang masih difungsikan. Jika Presiden RI ada kunjungan kerja di Yogyakarta, beliau akan tinggal di Gedung Agung.

Selain dikelilingi bangunan-bangunan yang megah, di kawasan Titik Nol Kilometer juga terdapat area hijau dengan pepohonan yang rindang. Nah tak heran pesona mini Eropa di Jogja ini akan membawamu ke Yogyakarta di masa lalu. Berjalan sedikit ke arah utara dari Gedung Agung, kamu akan menemukan jam yang berdiri persis di tengah seputaran yang dulu bernama Jalan Margomulyo.

Area ini lebih dikenal dengan nama Ngejaman. Nah, tugu jam tersebut dibuat tahun 1916. Tugu jam ini adalah tanda persembahan masyarakat Belanda untuk memeringati satu abad kembalinya Pemerintahan Kolonial Belanda dari Pemerintahan Inggris yang berkuasa di Jawa pada awal abad ke-19. Kini, prasasti kecil yang menunjukan tulisan itu telah dihilangkan.

Tak jauh dari area Ngejaman ada GBIP Marga Mulya yang dibangun tahun 1857. Gedung ini dibangun sebagai tempat untuk ibadah orang-orang Eropa saat itu. Berjalan ke sebrang timur jalan, kamu akan bertemu bangunan Pasar Beringharjo. Sesuai namanya, dahulu wilayah Pasar Beringharjo pada awalnya adalah hutan beringin. Tak lama setelah berdirinya Kraton Yogyakarta pada pada tahun 1758, wilayah pasar ini dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya.

Ratusan tahun kemudian pada 24 Maret 1925, Keraton Yogyakarta menugaskan Nederlansch Indisch Beton Maatschappij (Perusahaan Beton Hindia Belanda) untuk membangun los-los pasar. Nama Beringharjo diberikan setelah bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada 24 Maret 1925. Makna nama ini menunjukan wilayah yang semula hutan beringin (bering), dan diharapkan dapat memberikan kesejahteraan (harjo).

Peserta berdiskusi | Doc: Riana
Peserta berdiskusi | Doc: Riana
Nah memasuki Malioboro, kawasan ramai sejak dahulu karena terdapat banyak toko, hotel, dan orang-orang berjualan. Asal mula nama ini mempunyai banyak versi. Beberapa orang berpendapat 'Malioboro' diambil dari nama Duke of Marlborough (1650-1722), seorang jenderal Inggris. Selanjutnya, nama 'Malioboro' disebut berasal dari kata Malyabhara. Dalam bahasa Sansekerta, Malya berarti karangan bunga dan Bhara berarti menyajikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun