Mohon tunggu...
tigor munthe
tigor munthe Mohon Tunggu... Jurnalis -

Nasoadongsuraton

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Predator di Ruang Kelas

8 Maret 2018   23:02 Diperbarui: 8 Maret 2018   23:11 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : suarantb.com

Sekolah dan kelas mestinya merupakan ruang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk tak saja menimba ilmu, tapi juga ruang bebas baginya mengembangkan diri buat kreasi, imajinasi, aktualisasi dan interaksi.

Interaksi yang terbangun antar sesama anak, misalnya, hendaklah dipastikan pihak sekolah, dalam hal ini guru, staf dan kepala sekolah, diperoleh setiap anak secara utuh dan paripurna.

Pun begitu interaksi produktif dan positif juga terkonstruksi secara ideal antara anak sebagai peserta didik dengan guru, staf dan kepala sekolah selaku orangtua para anak di komunitas sekolah.

Anak bakal tumbuh sehat, secara jasmani, rohani dan emosi, ketika berada di lingkungan sekolah yang memastikan apa yang diperoleh dan dibutuhkan anak itu sendiri.

Pastikan, melalui strategi dan manajemen sekolah yang dikoordinir seorang kepala sekolah, maka anak itu menjadi target utama dari seluruh rangkaian kegiatan pendidikan dan pengajaran.

Anak tak cuma ditarget pintar dan cerdas secara akademik, tetapi juga sehat dan kuat dalam aspek non akademik.

Seperti sikap hormat kepada guru, orangtua, teman dan lingkungan atau anak tumbuh menjadi pribadi yang ceria, optimistik dan percaya diri.

Tapi, asa realitas itu akan remuk redam, manakala sekolah yang dikoordinir kepala sekolah dan para guru sebagai ujung tombak dalam mencapai target anak sehat jasmani, rohani dan emosi, justru bertindak aproduktif hingga asusila.

Aproduktif semisal justru tak mampu melahirkan anak sebagai peserta didik memiliki kualitas akademik. Anak didik menjadi pemalas dan tak punya motivasi belajar tinggi.

Atau anak didik rendah daya serap terhadap mata pelajaran, sehingga saat ujian nilai akademik sebagai pengukur progres proses belajar mengajar, anjlok.

Untuk situasi seperti ini, barangkali masih bisa dicarikan solusi atau formula, bagaimana pola interaksi guru dan anak didik diperbaiki, tentu dibantu orangtua anak itu sendiri. Ruang koreksi dan evaluasi masih memungkinkan dijajaki dan diaplikasi.

Akan muncul tragedi, jika terjadi sekolah justru menghadirkan bahkan mengamini situasi asusila, terutama terhadap anak didik.

Tindakan asusila, tentu amat berbahaya. Selain kontraproduktif dengan niatan melahirkan anak yang berkualitas, secara akademik dan non akademik, tetapi bisa menjadi petaka seumur hidup bagi anak korban asusila.

Tindakan asusila bisa ditemukan dalam beberapa peristiwa, seperti adanya kekerasan atau tindakan pemukulan guru terhadap siswa sendiri yang kadarnya melewati batas-batas normal untuk menyampaikan efek ajar positif.

Dalam praktik ajar menjurus kekerasan, alih-alih membuat siswa sadar, sebaliknya siswa mengalami luka akibat benturan fisik. Atau justru semakin terpuruk dan terpukul, jauh dari rasa nyaman dan aman dalam proses belajar mengajar.

Bentuk lain, yang ditemukan kasusnya di Kota Siantar adalah kekerasan seksual berupa tindakan cabul guru terhadap siswanya. Di ujung tahun 2017 lalu, media di Kota Siantar diramaikan dugaan pelecehan seksual salah satu guru swasta kepada anak muridnya.

Kasus sampai ditangani aparat kepolisian, bahkan memicu aksi unjuk rasa ke kantor kepolisian. Pihak terlapor, guru yang diduga melakukan kekerasan seksual terkesan mendapat proteksi tersendiri dari pihak sekolah meski proses hukum sudah berjalan.

Masih ingat juga bagaimana seorang guru pria di sekolah negeri melakukan tindakan asusila terhadap beberapa siswa pria peserta pramuka. Kasus asusila ini juga sudah masuk dalam proses hukum di peradlan.

Awal tahun 2018, terbongkar juga satu kasus lain, seorang bocah perempuan, kelas 6 sekolah dasar, yang tak lama lagi akan mengikuti ujian nasional, diduga dicabuli oleh wali kelasnya sendiri.

Kasus teranyar ini juga sudah masuk dalam proses kepolisian. Ibunda korban sangat berharap, terduga pelaku yang sudah dilaporkan segera diproses sesuai hukum yang ada. Tindakan hukum setidamnya membuat sang ibu berasa lega. Betapa hukum bisa mendenda tindakan asusila, seberat yang bisa.

Tapi, di balik kelegaan, jika sang guru dihukum, ibunda korban tak bisa menghapus luka dari trauma yang diderita anaknya, yang diperkirakan akan dia ingat seumur hidup.

Dampak asusila itu, korban menjadi pemurung, suka menyendiri di kamar, malas makan, takut sekolah dan takut melihat wajah sang guru.

Korban akhirnya tak lagi sekolah. Menunggu tahun ajaran baru, pindah ke sekolah lain. Karena dia tak mau lagi kembali ke sekolah dimana wali kelas melakukan kekerasan seksual terhadapnya.

Betapa fatal, ketika sekolah tak memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak didik. Betapa menyakitkan, ketika sekolah tak melahirkan ruang bebas kreasi, imajinasi, dan interaksi mumpuni dan manusiawi.

Jika sudah begini, bukan kah sekolah dan kelas telah berubah menjadi predator bagi anak didik?#nasoadongsuraton

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun