Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Waspada Keruntuhan Wibawa Pendidik

11 Juni 2016   21:46 Diperbarui: 12 Juni 2016   11:54 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teringat tahun '97-'98, negeri ini pernah mengalami distrust perbankan. Hampir semua bank mengalami kekalutan penarikan tunai oleh nasabah. Hanya dalam waktu sehari, sirkulasi penarikan tunai oleh nasabah mencapai titik yang mengkhawatirkan menurut Bank Indonesia. Miris kalau masyarakat sudah terjangkiti ketidakpercayaan atas lembaga resmi. 

Sebulan yang lalu BPK sempat digiring untuk teropinikan agar tidak dipercaya. Syukurlah, Dewi Fortuna masih menemani lembaga resmi negara yang berhak mengaudit ini. Kepercayaan masyarakat tidak tergerus, malah melambung, apalagi usai BPK diperkenankan bermarkas di kantor PBB.

Rupanya, gelagat meruntuhkan ketidakpercayaan ini mulai merambah dunia pendidikan. Profesi guru terguncang berkali-kali oleh ulah sebagian wali murid yang aneh-aneh. Anehnya, keanehan ini dibiarkan saja, baik oleh hukum, aparat, insan pendidikan, media, maupun masyarakat. 

Terasa sekali, bangunan opini atas "kekuasaan" guru berada dalam wilayah abu-abu. Antara maju terus dengan segala tafsir pelayananan didkannya, atau meratap sendiri dengan potensi risiko-risiko yang akan menghadang imbas dari hadangan sebelumnya.

Seberapa bahayakah imbas atas kejadian-kejadian yang terjadi itu? 

Saya sebagai pelaku pendidikan bingung juga mengurai paradigma yang terjadi ini. Benarkah teguran saya, hardikan saya (jika sudah dalam kategori perlu dihardik) harus saya lepas atas nama mudahnya melanggar hukum? Sementara fakta lapangan, jika saya diamkan, tanpa teguran, tanpa hardikan (tentunya telah diawali dengan nasihat) anak didik saya, anak yang telah dipercayakan orang tuanya kepada sekolah, akan semakin tenggelam dalam keliaran norma dan etika.

Sungguh, membangun karakter pada ratusan, bahkan ribuan watak siswa tidak bisa dipastikan dalam jalur yang sama. Mengapa harus ada gaya belajar kinestetik, interpersonal, dan seterusnya? Ya karena kebutuhan dalam melayani watak siswa memang harus berbeda-beda. Menegur, menghardik, bahkan mencubit (bagi seorang guru) seharusnya diikhlaskan oleh dunia pendidikan sebagai satu kesatuan hasrat guru untuk mencipta siswa agar baik. 

Silakan teruskan jabaran saya itu dengan segenap ketinggian nilai-nilai yang menjadi visi pendidikan, niscaya mata jernih kita tidak akan pernah menemukan sebuah kriminalisasi di dunia pendidikan. Kalau toh ada, kasus itu akan bisa diurai, apakah memang si guru yang sedang stres, atau memang guru dalam posisi sedang memberikan pelayanan terhadap siswanya.

Kuncinya pada dua hal:
1. Samakan visi dalam melihat perilaku guru dalam memproses anak didiknya. Hal ini bisa diamati dengan jelas dan terbuka, apakah guru tersebut melayani dengan benar atau memang ada kelainan pada guru tersebut. Jika kesamaan visi ini berada dalam saling serang, jangan harap ada kelegaan hati antara guru dan orang tua dalam membaca pelayanan guru kepada anak didiknya.

2. Jangan terlalu gegabah telah terjadi pelanggaran hukum ketika ada satu peristiwa yang menimpa anak didik, sang putra. Telisik sama-sama antara guru, sekolah, dan orang tua dengan membuka kembali catatan-catatan atas diri siswa. Sejatinya, jika sinergi pihak sekolah dengan orang tua berjalan harmonis, saya malah meyakini insiden yang terjadi bisa menjadi langkah pembenaran lebih lanjut bagi siswa. 

Dari dua sebab itu, solusi yang tepat adalah membangun komitmen kemitraan yang berimbang antara pihak sekolah dan orang tua. Bentuk komitmen ini tentu bisa berupa apa saja asal telah terjadi diskusi hati. Saya tidak ingin menyentuh perundang-undangan karena dalam UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen maupun Permen yang ada sudah sangat mencukupi untuk menciptakan suasana pendidikan yang baik. Berkaitan dengan perundangan yang ada ini, kelemahan yang masih tampak adalah masih kurang konsistensinya dalam penerapan, baik oleh pelaku pendidikan maupun oleh regulator. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun