"Aku sudah bertarung Dik?".
"Tapi kamu tidak tegas, Masssss..", meledak tangis Wiwid.
"Sudah sayang...".
"Belum! Tidakkk!! Kamu membiarkan aku mencari sendiri setiap nyanyian cinta kita. Kemana jiwa yang begitu aku sayangi? Kamu menghilang ketika asmara kita sedang terjungkal di tepi jurang, Mas!".
Tangis Wiwid, beradu dengan rasa kemarahan. Seperti di awal ia datang, meminta jawab atas sebab keterdiaman Ikhsan. Membiarkan Wiwid beradu denga keputusan sang ayah, dan dilema fakta yang memaksa untuk mengakhiri rasa cintanya, pada Ikhsan.
Ikhsan mendekat.
"Diam di situ Mas. Kamu tidak juga berubah. Aku hanya butuh semangatmu, Mas! Aku butuh ketegasan hati, untuk mendampingi hari-hariku nanti... tanpa kamu?".
Wiwid, tatapnya, menerjang bola mata Ikhsan. Mengajak Ikhsan untuk berbicara dalam kekuatan hati.
"Aku, tetap mencintai Dik. Bahkan aku dalam semangat yang tinggi untuk menguji kekuatan cinta kita? Setidaknya, cintaku?".
"Bohong!... Kamu membiarkan aku direbut orang, kamu terkesan hanya berilusi, Masss?".
"Aku, masih menyayangimu, Dik!".