"Iya, sungguh Dik, kamu fighter. Petarung!", ucap Iksan kembali meyakinkan. Dengan semangat yang sama, antara menyemangati, bangga, ataukah memberi ucapan selamat!
"Kamu memintaku bertarung Mas? Menyusur kehidupan dengan segala polemik ketidakberdayaan? Kamu memintaku bertarung dengan waktu-waktu hampa?".
Bisik Wiwik, tetap berpaling.
"Bukan begitu maksud ku, Dik. Bukan setelah ini kamu akan bertarung? Bukan untuk meminta mu untuk bertarung dengan waktu..?".
"Aku lelah, Mas. Aku sendirian menghadapi sebuah keputusan?! Sementara Kamu menghilang tanpa bisa membaca trenyuh jiwa menatap takdir yang akan aku hadapi...", bisik Wiwik.
Perempuan itu memulai tangis, kembali.
Ikhsan bergegas mendekat, tetapi Wiwik tegas meminta untuk tetap berdiam dari berdirinya.
"Kamu petarung bukan setelah ini, Dik. Jauh sebelum ada cinta, aku sudah meyakini jika kamu memang petarung! Filosofi atas ketangguhan jiwa memaknai setiap hentakan. Kini, aku, hanya bisa meminta mu untuk memelihara jiwa petarung itu?". Bisik Ikhsan.
Â
"Aku ingin kita sama-sama menjadi petarung, Mas...?!", jerit Wiwik.
Menggugah dedaunan yang sekian waktu terdiam menyimak gundah wajah keduanya.