Cuplikan cerita seminggu lalu :
Â
"Mas, tidak seharusnya kita berpisah seperti ini...?", ucap Wiwik. Tangis tak lagi terbendung.
"Suamimu dimana?", tanya Iksan lagi terasa ada kekhawatiran.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Mas. Kamu tega!". Parau suara keluar.
---
"Aku, sadis ya Mas...?", ucap lirih Wiwik, hendak meninggalkan rumah sederhana itu.
Ia lirik sebentar yang ditanya, lalu ia hempaskan pandangannya ke lantai tanah, teras depan rumah sederhana. Rumah yang akan menjadi mimpi dari sebuah cerita asmara.
Sepertinya, Wiwik berserah untuk tidak akan dijawab
Ikhsan hanya terdiam. Pandangannya kosong menatap persawahan. Awan masih putih dengan sinar fajar yang melukis kekuning-kuningan langit pagi. Tidak ada air mata. Wajah lelaki itu lebih tertutup gelisah.
Keduanya tidak ada yang hendak beranjak. Wiwik, mendekap erat bungkusan yang sejatinya ingin ia serahkan kembali ke Ikhsan. Apalacur, Ikhsan memintanya untuk dibawa kembali, atau terserah di buang kemana.
Kaki lelaki itu bergerak sedikit, melangkah sedikit lebih mendekat pada perempuan yang memang ia cinta. Wiwik terdiam...
"Kamu petarung Dik! Kamu fighter".
Ia ulurkan tangan dihadapan wanita yang masih memaku tertunduk. Serasa terdengar lebih pas sebagai ucapan kebanggaan dan semangat, ataupun selamat. Pada Wiwik.
Wiwik malah memalingkan muka, membiarkan tangan itu terjulur. Teras rumah semakin beku! Embun pagi menyingkir. Terdesak ribuan asa bersama tanda tanya yang memenuhi pikir keduanya.