Mohon tunggu...
Kurnia Nasir
Kurnia Nasir Mohon Tunggu... Musisi - musikus jalanan

musikus jalanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Perlu Narasi Baru yang Teduh

25 Februari 2021   20:13 Diperbarui: 25 Februari 2021   20:22 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa negara demokrasi telah melampaui beberapa masa pemilu setelah era digital yang berkembang dengan baik setelah tahu 2008. Orang tidak asing lagi pada internet dan media sosial. Dampak pada politik memang cukup besar terutama pada masa konstestasi politik seperti Pilpres atau Pilkada.

Negara besar seperti Amerika Serikat (AS) beberapa negara demokratis di Eropa, Singapura, Malaysia dan Indonesia sudah melampaui masa kontestasi politik yang penuh dengan kegaduhan dan kemungkinan keterbelahan yang tidak bisa dianggap remeh dampaknya.

AS misalnya. Negara besar dan sudah makan asam garam dalam hal demokrasi juga tak telpas dari dampak keterbelahan karena narasi kampanye yang 'kejam' dan cenderung diskriminatif. Namun yang kejam dan diskriminatif itu 'sangat laku dikonsumsi ' masyarakat. Artinya sangat banyak warga negara AS yang meski sudah berpendidikan namun cenderung masih saja berpandangan diskriminatif terhadap sesuatu.

Bahkan ada sebuah kabar jika kampanye 2014 lalu di AS terlah melibatkan sebuah negara besar yang tidak saja membuat narasi semakin tajam, namun keterbelahan masyarakat semakin nyata. Orang dengan kulit putih semakin tidak senang dengan kulita berwarna dan sebaliknya. 

Di Indonesia, hal itu juga terjadi. Namun yang menjadikan berbeda adalah bukan warna kulit namun perbedaan agama dan suku bangsa. Kita tahu bersama bahwa Indonesia telah lama menjadi semacam tanah tujuan bagi imigran asal daratan China selama berabad-abad, namun mereka sudah lama di anggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia, meski zaman Orde Baru sempat membuat pembedaan yang sangat kuat sehingga kita sempat saling berjauhan sebagai bagian dari bangsa.

Narasi dengan pembedaan suku bangsa dan agama itu marak saat kampanye Pilpres 2014 dan beberapa pilkada setelahnya. Selama berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, kita harus menelan narasi-narasi penuh kebencian dan membuat kita semakin berbeda. 

Bahkan ketika beberapa tokoh kebangsaan yang ingin menjernihkan pikiran keruh mereka, seringkali gagal karena masyaraakt seakan tidak memperlihatkan titik kebersamaan yang membuat kita menjadi utuh sebagai bangsa Indonesia. Hal itu diperparah dengan adanya internet (teknologi) yang dapat mendistribusikan konten dengan cepat dan secepat kilat.

Kita mengharapkan pertempuran narasi itu berhenti, agar kita bisa ingat apa citacita kita sebagai bangsa. Karena itu kita perlu narasi-narasi baru yang meneduhkan dan regulasi barasi yang bisa menjadi acuan bagi kedisplinan kita soal kebebasan berpendapat. Amatlah salah jika melihat UU ITE sebagai momok yang membungkam kebebasan kita berpendapat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun