Mohon tunggu...
Tias Tanjung Wilis
Tias Tanjung Wilis Mohon Tunggu... Administrasi - Murid kehidupan

Perempuan biasa yang suka berbagi cerita Berharap bisa membuat perubahan Menciptakan kesetaraan laki-laki dan perempuan Melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perempuan Punya Tanah, Haruskah?

12 Oktober 2017   19:31 Diperbarui: 13 Oktober 2017   08:48 2062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemarin, 11 Oktober 2017 adalah Hari Anak Perempuan Internasional. Saya jadi ingat pembicaraan saya dengan seorang teman di Bali beberapa minggu yang lalu. Dia orang Bali asli.

Setelah ngobrol ngalor ngidul, akhirnya sampai juga pada topik menarik. Tentang anak perempuan dan hukum waris di Bali. "Bli, kalau di Bali perempuannya dapat berapa persen warisan?" naluri feminis saya mulai jalan.  

Dia menjelaskan panjang lebar. Singkatnya, di Bali, hanya garis keturunan laki-laki yang berhak atas harta warisan keluarga, termasuk tanah tentunya. Seperti mayoritas daerah lain di Indonesia (dan dunia), Bali juga menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau dalam bahasa Bali disebut purusa. Sistem ini menarik garis keturunan dari pihak pater atau bapak.

Implikasinya, hanya keturunan laki-laki (kapurusa) yang berhak menerima warisan. Perempuan tidak berhak, anak kandung sekalipun. Kenapa? Karena masih lekatnya anggapan bahwa perempuan tidak mampu menjalankan swadharma (kewajiban) keluarga. Bagi mereka, perempuan dianggap akan menikah, menjadi milik orang lain, dan akhirnya meninggalkan kewajibannya kepada keluarga (ninggal kedaton).

Padahal kenyataannya tidak begitu. Perempuan sudah banyak yang bekerja dan mandiri secara ekonomi. Banyak di antara mereka yang tetap menjalankan kewajibannya sebagai anak kepada orang tua dan keluarga, walaupun sudah menikah.

Saat ini sudah ada aturan-aturan yang membuat perempuan Bali bisa bernafas lega. Misalnya saja, di tahun 2010, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali telah memutuskan untuk memberikan hak waris kepada kaum perempuan. Tapi nyatanya, menurut teman saya itu, masih ada saja keluarga yang belum menerapkan aturan itu, termasuk keluarganya.

Pertanyaannya, jika di Bali perempuan tidak berhak atas harta warisan, termasuk tanah dan sebagainya, lantas bagaimana nasib mereka? Bagaimana dengan perempuan yang ditinggal mati suaminya? Jika perempuan dalam usia produktif masih bisa bekerja, bagaimana dengan mereka yang sudah tidak produktif? Bagaimana dia akan menghidupi dirinya? Bagaimana dengan anak-anaknya? Dan seterusnya.

Bukan hanya di Bali, hukum waris di manapun tempatnya memang masih banyak yang menomorduakan perempuan. Kecuali di daerah yang menganut matrilineal, seperti Padang. Aturan tentang hukum waris yang sangat bias gender ini tentu berimplikasi terhadap fakta tentang kepemilikan tanah oleh perempuan yang sampai saat ini pun masih menunjukkan ketimpangan.

Di Indonesia, ada beberapa sumber tentang kondisi kepemilikan tanah terpilah gender. Salah satunya Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012. Dari survei ini kita bisa melihat, hanya 12,5% perempuan yang punya tanah atas nama pribadi. Sisanya, 26,2% punya tanah dengan status kepemilikan bersama, sedangkan 2,5% lainnya atas nama pribadi dan bersama. Mayoritas perempuan atau sebesar 56,6% tidak punya tanah.

Melihat angka itu membuat saya sedih. Bagi saya, memiliki tanah terutama di zaman sekarang sudah menjadi keharusan bagi perempuan. Nyatanya, peran perempuan dalam menjamin ketersediaan pangan jauh lebih besar daripada laki-laki.

Dari zaman baheula, perempuan selalu memegang peranan penting dalam pertanian. Di zaman pra-Islam, orang Jawa memuja Dewi Sri yang diasosiasikan sebagai simbol kehidupan, kesuburan dan kemakmuran. Di masa berburu dan mengumpulkan makanan (hunting and gathering), perempuan bertugas mengumpulkan dan menanam tanaman. Para suami bertugas berburu atau beternak. Perempuan berkuasa dan punya kontrol atas tanah yang mereka olah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun