Mohon tunggu...
Tiara Zerina Dwi Wardila
Tiara Zerina Dwi Wardila Mohon Tunggu... Ilustrator - Mahasiswa Universitas Andalas, Padang

Sastra Jepang 2020 , Universitas Andalas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tari "Dindin Badindin" Asal Minangkabau

9 Maret 2021   11:55 Diperbarui: 9 Maret 2021   13:06 2211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tari Indang, Minangkabau. Sc: wonderfulminangkabau.com

Masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama ( Gillin, J. L. and J. P. Gillin. 1954 : 139 ). 

Menurut Koentjaraningrat (1985:204) kesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang universal yang dapat menonjolkan sifat atau ciri khas suatu daerah. 

Unsur universal kesenian dapat berwujud tindakan -- tindakan berpola antar seniman pencipta, seniman penyelengara, penonton dan konsumen hasil kesenian. Namun kesenian juga dapat berwujud gagasan--gagasan, pikiran dan sayair yang indah.

Tari indang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tari Indang ini dikenal dengan sebutan dindin badindin. Awal mula sejarah tarian ini adalah untuk syiar agama Islam. 

Seiring berjalannya waktu, tari ini mengalami akulturasi dengan budaya Minang. Tarian Indang ini dulunya dibawa oleh seorang pembuka Islam yang berasal dari Aceh yaitu Abdul Kadir Jailani pada abad ke-14. 

Di setiap dakwahnya dalam penyiaran agama Islam, beliau selalu mendendangkan dendang-dendang syair pantun sebagai media penyiaran agama Islam. 

Dari Aceh Abdul Kadir Jailani menyebarkan tari Indang sampai ke Sumatera Barat khususnya di Jorong Guguk, Nagari Lurah Ampalu, Kecamatan VII Koto, Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman yang kemudian dinamakan "Indang Guguk". Indang Guguk menjadi kesenian asli bagi masyarakat setempat. 

Tari indang memiliki makna sebagai media dakwah, tari Indang mengandung beberapa elemen pendukung yang bernapaskan budaya Islam. Tarian ini kerap disuguhkan bersamairingan shalawat Nabi atau syair-syair yang mengajarkan nilai-nilai keislaman. 

Tak heran bila kemudian pada masa silam tari Indang justru lebih sering ditampilkan di surau-surau. Adapun hingga saat ini, beberapa nagari di ranah Minang masih kerap menyuguhkan tarian ini dalam upacara Tabuik, atau upacara peringatan wafatnya cucu Rasulullah setiap tanggal 10 Muharram.

Sebagai pertunjukkan, tari indang tidak hanya menampilkan konteks kebudayaan dan sosial masyarakat setempat, tapi juga membawa nilai keagamaan. Tarian ini bermula dari surau (masjid) dan diperagakan anak laki-laki berusia 7-15 tahun. Gerakan tarian ini dibagi per babak, di mana setiap babaknya memiliki gerakan yang bermakna, yaitu:

  1. Pasambahan adalah gerakan yang bertujuan untuk mengingat dan menghormati orang yang berjasa dalam penyebaran agama Islam.

  2. Gerak inti yang menggambarkan tujuan dan kegembiraan masyarakat.

  3. Gerak penutup atau gerakan yang mengajarkan tentang permohonan maaf.                            

Indang adalah alat kesenian tradisional tepuk yang berasal dari daerah Sumatra Barat. Alat kesenian Indang ini disebut juga Ripai, Bentuknya sama dengan rebana, tetapi ukurannya lebih kecil, garis tengahnya sekitar 18 sampai 25 cm dan tingginya 4,5 cm. Seperti juga rebana, alat kesenian Indang ini juga berasal dari Arab dan kesenian yang dimainkan memakai Indang ini adalah kesenian bernapaskan Islam. 

Serta bunyi yang berasal dari syair yang dinyayikan oleh seorang tukang dzikir. Tukang dzikir sendiri adalah sebutan bagi seorang yang memandu tari melalui syair dan laguyang dinyanyikannya. Pada perkembangannya, alat musik yang mengiringi tari Indang kini semakin beragam. 

Beberapa alat musik modern seperti akordeon, piano, dan be berapa alat musik tradisional lainnya juga kerap ditemukan. Selain itu, syair lagu yang kerap dinyanyikan juga kini lebih sering hanya 1 jenis saja, yaitu lagu Dindin Badindin karya Tiar Ramon.          

Sama halnya seperti tarian khas daerah lain, tari indang memiliki unsur pola lantai yang membantu dalam membentuknya agar menjadi lebih indah dan bermakna. Tarian ini disajikan dengan pola lantai yang horizontal atau berjajar dari sisi kanan ke kiri. 

Dalam satu penampilan, umumnya para penari membentuk satu banjar lurus atau memasukkan pola lain seperti bentuk V, melingkar, zig zag, dan saling berpasangan. Konon gerakan dalam tarian indang pun melambangkan ajaran-ajaran agama Islam. 

Contohnya, dua kelompok yang menari lalu menggerakkan tangan, kemudian menjentikkan jarinya diisyaratkan sebagai pujian kepada Allah SWT.Tari indang hanya boleh ditarikan oleh penari pria saja. Hal ini sesuai dengan ajaran agama Islam yang tidak memperkenankan wanita mempertontonkan dirinya di khalayak umum. Namun, aturan ini kian lama semakin ditinggalkan. 

Buktinya dari beberapa pementasan tari indang kini kerap di temukan dengan penari wanita. Jumlah penarinya sediri cukup beragam, tapi yang sering ditemukan tarian ini ditampilkan oleh penari bejumlah ganjil, sperti 7 orang penari, 9 orang, 11 orang atau bahkan 13 orang dengan satu atau dua orang bertindak sebagai tukang dzikir. Para penari tari indang dalam budaya minang disebut dengan istilah anak indang.

Dalam perkara tata rias dan busana, tari indang tidak memiliki banyak aturan. Yang jelas, khusus untuk para penarinya wajib mengenakan pakaian adat melayu sebagai simbol dan identitas asal tarian tersebut. Sementara untuk tukang dzikir bebas untuk engenakan pakaian apapun asal sopan. Pada awal masa kemunculannya, tari indang wajib dilengkapi dengan indang atau rebana kecil sebagai propertinya. Namun, kini properti tersebut sering ditingglkan dan digantikan fungsinya oleh lantai punggung yang dapat menghasilkan suara ketika ditepuk.                                  

Dalam buku Menapak Indang Sebagai Budaya Surau (2016: 121) karya Dr. Erlinda, tarian ini berfungsi sebagai pengisi kebutuhan rohani. Itu karena terdapat nilai kejiwaan yang terkandung di dalamnya, mampu merangsang spiritual masyarakat terutama dalam hal agama dan adat istiadat.

Melihat Tari Indang ini tentu sangat bermanfaat, tidak hanya dalam seni melainkan spiritual juga. Untuk itu tari tradisional daerah harus dilestarikan agar tidak lupa terhadap adat dan istiadat di daerah tersebut, terutama pemuda-pemudi di daerah tersebut yang akan menjalankan dan menjaga kelestarian ini.


Sumber :

Gillin, J. L. and J. P. Gillin. 1954. Cultural Sociology. New York: The Macmillan Company.

Koentjaraningrat. 1985. Metode - metode Penelitian Masyarakat. Jakarta Gramedia.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Indang

https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/berita-hari-ini/mengenal-sejarah-dan-pola-lantai-tari-indang-1v8vx7UQGG5

https://pelajaranbudaya.blogspot.com/2019/11/tarian-indang-minang.html?m=1

Erlinda. 2016. Menapak Indang sebagai Budaya Surau. ISI Padangpanjang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun