Mohon tunggu...
tiara ramadhani
tiara ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga

Tertarik dengan isu kesehatan mental dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjelajah Kehidupan Childfree: Bagaimana Tantangan dalam Menjalani Pilihan Hidup Tanpa Anak?

22 Mei 2023   21:33 Diperbarui: 22 Mei 2023   21:40 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar Ilustasi pasangan childfree (sumber: https://www.pexels.com/id-id/)

Pilihan untuk tidak memiliki anak atau yang dikenal dengan istilah “childfree” sedang menjadi bahasan populer di kalangan masyarakat modern. Di Indonesia, fenomena childfree masih dianggap sebagai topik yang kontroversial oleh banyak orang.

Dalam budaya ketimuran, konsep childfree belum bisa diterima secara gamblang. Tradisi dan norma-norma masyarakat beranggapan bahwa memiliki anak adalah suatu keharusan demi melanjutkan garis keturunan. Tekanan sosial untuk memiliki anak seringkali sangatlah tinggi, sehingga individu atau pasangan yang memilih childfree akan dihadapkan dengan berbagai pertanyaan, komentar, ataupun kritik dari lingkungan mereka. 

Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi individu maupun pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak. Salah satu diantaranya adalah karena pengalaman buruk dengan orang tua mereka yang terjadi di masa kecil. Peristiwa tersebut bisa mengakibatkan seorang anak mengalami trauma emosional dan memiliki ketidaknyamanan yang signifikan terhadap konsep menjadi orang tua. Hal itulah yang berpotensi memengaruhi keputusan mereka dalam memilih childfree, dengan tujuan agar kejadian yang mereka alami di masa kecil tidak terulang kembali pada anak-anak mereka.    

Dalam buku yang berjudul, “No Kids: 40 Good Reasons Not to Have Children", Corinne Maier sang penulis buku membahas banyak alasan mengapa seseorang memutuskan tidak memiliki anak. Beberapa alasan diantaranya adalah karena faktor kebebasan, keterbatasan finansial, perhatian terhadap lingkungan, dan kekhawatiran tentang overpopulasi.

Melihat dari kacamata sosial budaya di Indonesia, mengambil keputusan untuk menjadi childfree merupakan suatu hal yang kompleks dan menantang. Dalam beberapa budaya, mempunyai anak dianggap sebagai tanggung jawab sosial, kewajiban agama, atau cara untuk memperoleh status dan penghormatan dalam masyarakat. Memiliki anak dianggap sebagai tugas penting bagi pasangan yang telah menikah. Keluarga juga merupakan nilai yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi dalam masyarakat. Hal tersebut membuat stigma terhadap orang yang memilih childfree masih cukup kuat di Indonesia.

Terdapat anggapan negatif yang dihadapi oleh orang-orang yang memilih menjadi childfree. Beberapa orang dipandang aneh dan egois, karena tidak mau menanggung tanggung jawab sebagai orang tua. Ada juga yang menganggap bahwa mereka yang tidak memiliki anak tidak akan bisa memahami arti sejati dari kehidupan atau dengan kata lain tidak mempunyai makna hidup.

Mereka yang memilih childfree juga rentan mengalami bullying. Mereka dapat menjadi sasaran ejekan oleh teman, keluarga, atau orang lain yang merasa bahwa keputusan untuk tidak mempunyai anak adalah keputusan yang salah.

Tekanan dari keluarga dan masyarakat untuk memiliki anak pun bisa menjadi sangat besar, terutama bagi orang-orang yang berasal dari lingkungan sosial yang menganggap bahwa memiliki anak adalah bentuk kesuksesan hidup.

Selain itu, mereka juga memiliki kemungkinan untuk dikucilkan. Misalnya, orang-orang yang memutuskan childfree mungkin seringkali tidak diundang dalam acara keluarga atau acara sosial yang dianggap hanya untuk keluarga atau orang tua.

Semua stigma dan diskriminasi yang diterima oleh orang-orang yang memutuskan childfree dapat membuat mereka mengalami tekanan psikologis. Tekanan psikologis yang diakibatkan oleh stigma tersebut meliputi berbagai masalah kesehatan mental, seperti kecemasan, stres, depresi, dan perasaan rendah diri. Mereka bisa merasa tidak dihargai dan tidak mempunyai tempat di dalam masyarakat yang sangat mementingkan kehadiran anak dalam sebuah keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun