Mohon tunggu...
Tiara Merdika
Tiara Merdika Mohon Tunggu... Freelancer - a stoic

Because words are energy

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

"Work Hard" Pintu Awal Kematian?

2 Juni 2022   10:11 Diperbarui: 2 Juni 2022   10:16 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pexels.com/@olly

Work hard selalu dikaitkan dengan kesuksesan. Semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja, semakin banyak uang yang dihasilkan. Itulah pola pikir yang berkembang pada masyarakat saat ini. 

Pada awalnya ini terlihat seperti ide yang bagus. Katakanlah semua orang bekerja untuk menghasilkan uang, sehingga mereka bisa membeli barang yang diinginkan. Pola pikir tersebut justru menjerumuskan diri sendiri pada kerugian yang besar. Kegilaan konsumerisme akuisisi seperti ini membuat mereka tidak akan pernah puas, karena tidak ada konsumerisme yang dapat membeli ketenangan batin.

Bekerja berjam-jam tentunya akan membuat kita memiliki sedikit waktu luang. Waktu luang di bawah kapitalisme bukanlah sesuatu yang benar-benar dapat kita manfaatkan. Saat kita pulang dan berada di rumah dalam kondisi kelelahan, kita tidak dapat melakukan aktivitas lainnya seperti berolahraga dan lain-lain. Waktu luang yang kita dapatkan semacam hanya untuk mengisi kembali energi yang hilang dan digunakan sebagai persiapan bekerja di esok hari. 

Data  dari International Labor Organization (ILO) menunjukan bahwa orang-orang di Asia termasuk memiliki jam kerja paling lama; sebagian besar negara (32%) tidak memiliki batasan nasional universal untuk kerja maksimum dalam satu minggu dan 29% memiliki ambang batas tinggi (60 jam lebih perminggu). Hanya 4% negara yang menetapkan standar ketenagakerjaan internasional yang direkomendasikan  ILO dengan maksimum 48 jam atau kurang dalam seminggu.

Orang-orang perlu memahami bahwa bekerja terlalu lama akan mendatangkan bahaya untuk kesehatan mereka baik fisik maupun mental. Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Environment International menyatakan bahwa kematian yang disebabkan karena penyakit jantung yang dikaitkan dengan jam kerja yang berlebihan meningkat sebesar 45% antara tahun 2000 dan 2016, dan stroke sebesar 19%. 

Dilansir dari healthline, orang yang bekerja 55 jam seminggu memungkinkan 16% mengalami risiko serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang bekerja 45 jam seminggu. Tak hanya itu sebuah analisis global WHO dan ILO (International Labor Organization) menunjukkan bahwa setiap tahun, juta orang meninggal karena penyakit jantung iskemik dan stroke yang diakibatkan bekerja dengan jam kerja yang berlebihan.

Bekerja berjam-jam kerja memengaruhi kesehatan

Dilansir dari healthline, seorang perempuan di Jepang berusia 31 tahun meninggal karena terlalu banyak jam kerja. ia hanya memiliki dua hari libur di bulan menjelang kematiannya pada tahun 2013. Fenomena ini disebut dengan "karoshi", yaitu peristiwa kematian yang disebabkan oleh jam kerja yang berlebihan. 

Ada dua hal dampak yang dikaitkan karena bekerja selama berjam-jam. 

Pertama, stres psikologis akibat bekerja yang berlebihan menimbulkan respon fisiologis. Dr. Alan Yeung, direktur medis di Stanford Cardiovascular Health mengatakan bahwa stres yang dialami akibat terlalu banyak jam kerja termasuk dalam stres kronis. Ketika seseorang mengalami stres tingkat tinggi, detak jantung dan tekanan darah mereka akan meningkat sehingga tingkatan risiko serangan jantung dan gagal jantung juga semakin tinggi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun