Mohon tunggu...
Tiara Angel Putri
Tiara Angel Putri Mohon Tunggu... Lainnya - tiara angel putri - sosiologi 4C - UIN Jakarta

jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku Karya Neng Dara Affifah "Muslimah Feminis"

10 Mei 2021   15:30 Diperbarui: 10 Mei 2021   16:37 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Review    “MUSLIMAH FEMINIS” KARYA NENG DARA AFFIAH

Data Buku

Judul Buku      : Muslimah Feminis

Penulis             : Neng Dara Affiah

Penerbit           : Nalar Jakarta

Kota Terbit        : Jakarta

Tahun Terbit    : Cetakan Pertama, 2009

Jumlah Halaman : 122 hal

Saya sangat terkesan dengan pengalaman ibu Neng Dara yang tertulis dalam buku “Muslimah Feminis”. Setelah membaca buku yang sangat mengesankan ini, saya melihat bahwa Ibu Neng Dara sangat memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. Banten adalah etnisitas dimana Ibu Neng Dara Affiah dilahirkan. Ibu Neng Dara berasal dari sebuah kota kecil di kawasan Banten, tepatnya di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. Lahir pada bulan April tahun 1970, anak pasangan dari ibu seorang guru agama dan ayah pemimpin pesantren sekaligus juga pemimpin masyarakat.

Penduduk di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang ini mayoritas beragama islam, dengan beberapa umat Kristen yang merupakan pendatang dari Ambon dan etnis Tionghoa yang hamper secara keseluruhan berprofesi sebagai pedagang: Pedagang emas, kopi, toko-toko pakaian, dan perusahaan-perusahaan jasa angkutan bis.

Ibu Neng Dara menempuh pendikan dasar dan menengah, dengan mengikuti aliran tradisionalis. Keluarganya memang keluarga santri dan bapaknya adalah seorang tokoh ulama NU. Di masa pendidikan menengah atas ia mulai tertarik pada aliran fundamentalis. Pada saat SMA ia memasuki pesantren alquran di Serang. Ia terlibat dengan pengajian tertutup yang disebut dengan ’usrah’. Ibu Neng Dara mulai merasakan kegelisahan dalam sanubarinya. Ia merasa terkungkung pada islam yang sempit dan selalu dihantui oleh perasaan takut dosa. Dengan segenap keberanian, Ibu Neng Dara akhirnya pindah ke pesantren di Tasikmalaya. Di sana ia mulai merasakan kesejukan Islam dan nuansa spiritual yang damai. Ia menyadari, keihklasan adalah puncak kepasrahan diri seorang Muslim kepada Sang Pencipta.  kemudian Ibu Neng Dara melanjutkan kuliah di IAIN Jakarta Oleh paman yang menolongnya, ia didaftarkan ke jurusan Perbandingan Agama. Saat kuliah ia tidak hanya mempelajari agama Islam saja namun juga mempelajari agama-agama  lainnya, seperti Hinduisme, Budhisme, Sintoisme, Taoisme dan Konfusianisme. Hal itu membuka hati beliau, merubah cara berpikir kearah pluralism. Bahwa kebenaran itu tidak hanya milik Islam, bukan hanya monopoli Islam dan kebenaran juga terdapat pada agama-agama lain. Walaupun begitu tidak berarti beliau mengalami keraguan dalam keimanannya. Saat berkuliah ia terombangambing antara masuk ke PMII yang berlatar belakang tradisional atau ke HMI yang berlatar belakang modernis. Karena kegiatan PMII dilihatnya lebih bersifat simbolis-ritualis, sedangkan di HMI banyak kegiatan intelektualnya, ia ternyata memilih ke HMI.

Ibu Neng Dara dapat memahami perbedaan-perbedaan pada agama lain dalam aktivitasnya, kemudian ia berkesempatan berkunjung ke negara-negara lain, seperti negara Finlandia. Ia diundang ke Filandia untuk suatu acara yang diselenggarakan oleh organisasi perempuan Kristen dunia pada tahun 2000.Ibu Neng diminta untuk menjadi narasumber mengenai gerakan perempuan muda dalam aktivitas lintas agama di Indonesia. Pengalamannya bertemu dengan seorang laki-laki Finlandia di pesawat membuat dirinya menyadari bahwa betapa buruknya Islam dimata sebagian orang barat, yang cenderung mengidentikan perempuan Islam dengan mamakai cadar dan dipoligami. Dari sini ia menyadari bahwa menjadi minoritas agama Islam di tengah-tengah pemeluk mayoritas agama Kristen dengan prasangka-prasangka buruk terhadap Islam sangatlah tidak nyaman. Oleh karena itu Ibu Neng Dara menegaskan pada dirinya sendiri maupun kepada orang lain untuk tidak melakukan prasangka-prasangka dan melakukan stereotip-stereotip tertentu atas agama, ras, maupun bangsa. Dalam buku tertulis bahwa ia sangat terinspirasi dengan neneknya, yang bernama Hj. Masyitoh. Ibu Neng Dara menyebutkan bahwa “Nenekku adalah orang berdaulat atas dirinya sendiri. Ia tidak pernah membungkukan kepala maupun dada terhadap para penguasa”.

Ibu Neng Dara sangat aktif di gerakan perempuan dan organisasi. Ia ikut aktif dalam LSM perempuan. Dalam forum diskusi yang diadakan biasanya memusatkan pemikiran tentang kesetaraan dan keadian gender. ada tahun 2004 Neng Dara Affiah diundanng ke Amerika untuk program “Ohio University Inter-Religious Dialogue and Exchange Project”. Dalam event tersebut, Ibu Neng Dara berdiskusi mengenai pluralism agama dengan para sarjana agama-agama tekemuka dari berbagai negara. Kunjungannya ke Amerika membawakan pengalaman yang lain, ia merasakan adanya kesegaranserta keharmonian dari keragaman agama dan kebebasan beragama yang terwujud di sana.

Selain itu juga Ibu Neng Dara mengikuti aktif dalam organisasi lain yaitu FORMACI (Formasi Mahasiswa Ciputat). Di dalam organisasi ini juga Ibu Neng bersentuhan dengan hal baru seperti Feminisme. Perjumpaan dengan feminis ini membentuk kesadaran baru bahwa ada masalah ketidakadilan dengan perempuan. Kesadaran itu memotivasi Neng Dara untuk berusaha mengubahnya dan menyosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat luas. Feminisme memberi pelajaran kepada beliau akan ketidaktergantungan.  ketidaktergantungan kepada suami dengan tidak mengabaikan penghormatan dan sikap respek terhadapnya, ketidaktergantungan pada institusi sosial yang memperkerdil diri kita; dan ketidaktergantungan pada sistem politik hegemonik dan partriaki. Dalam hal ini, Islam dan feminisme yang beliau fahami, mempunyai persamaan tujuan dalam orientasi akhirnya, yakni kemerdekaan dan pembebasan manusia, terutama perempuan.

Pada Juni 2006, Ibu Neng Dara berkesempatan beraudiensi dengan SBY bersama dengan beberapa temannya melalui organisasi Pucuk Pimpinan Fatayat NU. Ia pun bertanya tentang kelompok-kelompok yang ingin mengubah ideologi Pancasila dengan Negara Islam? Dan SBY menjawab bahwa tidak ada aturan konstitusi yang mengatur pemerintah untuk member tindakan terhadap kelompok-kelompok tersebut. Disorientasi berbangsa saat ini agaknya sedang diidap oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Mereka lebih memilih untuk kuat menonjolkan kedaerahan (etnis) dan agama.

Selain identitas etnis, gender, dan agama terdapat juga identitas negara. Pemaknaan Ibu Neng Dara terhadap kebangsaan ini juga dipengaruhi kelamnya masa pemerintahan rezim Soeharto pada era Orde Baru. Dimana saat Presiden Soeharto berkuasa, kekuasaan berpusat di tangannya. Ia seperti raja, tetapi hidup dalam negara yang memiliki konsep modern. kendati ada lembaga-lembaga lain, seperti Legislatif (parlemen) dan Yudikatif (hukum), tetapi dua lembaga tersebut ada dalam komandonya. Bahkan sekian ratus jumlah anggota DPR adalah para kroni dekatnya, dan karena itu tidak ada yang berani membantahnya. Demikian pula mereka yang menduduki lembaga-lembaga pengadilan dan para pegawai negeri. Jika ada yang berani bersuara lain, posisi mereka akan terancam dan bisa jadi dikeluarkan dari lembaga negara.

Menurut saya buku ini sangat menarik dan sangat membuka pikiran untuk lebih menyetarakaan gender, dalam buku juga terlihat bahwa Ibu Neng Dara sangat menjunjung tinggi akan hal itu. Menurut saya juga ia adalah sosok yang menginspirasi. Selain itu juga buku ini sangat mudah dipahami dengan kata-kata yang efesien dan jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun