Mohon tunggu...
Ayu Rhisma
Ayu Rhisma Mohon Tunggu... Guru - Layang bagai mimpi putus benang, Mika tan mampu diimplementasikan

S1 Pend. Bahasa Dan Sastra Indonesia Guru Bahasa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Payung Kematian

5 Agustus 2021   12:46 Diperbarui: 5 Agustus 2021   13:08 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah satu bulan Ibu tidak pulang ke rumah. Bapak merasa menyesal karena telah memarahi Ibu. Adik terus menangis minta susu Ibu. Aku menggendong adik sambil menyusuinya degan air tajin, karena aku tidak mungkin menyusui adik. Payung Ibu sudah tergeletak di peti penyimpanan yang usang. Payung Ibu selalu digunakan saat Ibu menari di panggung, padahal teman-teman Ibuk tidak ada yang menggunakan payung. Ibu sering mendapat saweran paling banyak, itu semua membuat tenan-temannya iri. Ibu masih muda, pantas banyak lelaki yang menggodanya, tak sekali mereka mencolek tubuh mulus Ibu, terkadang ada yang mengelus dadanya. Ibu hanya tersenyum.

Aku bertanya "Ibu kenapa diam, bukanya yang boleh mengelus tubuh Ibu hanya Bapak?"

"Tidak apa-apa nak, ini juga buat uang sekolah dan jajanmu"

"Bapak tidak marah kah Bu?"

"Tidak, Bapak tidak akan marah, kamu tenang saja ya, kamu jaga adik kamu biar tidak menangis".

"Iya Bu". Aku patuh dengan Ibu, karena Ibu orangnya sabar, Bapak yang sering memarahiku, hingga Adik menangis karena kaget dengan suara Bapak. Aku selalu ikut ketika Ibu menari, kecuali jika tugas sekolah banyak.

Aku pernah mendengar teman-teman Ibu membicarakan tentang payung Ibu, katanya itu payung ajaib, payung siluman, payung pesugihan. Aku tidak paham maksudnya, ketika Ibu selesai menari, Ibu menghitung uang saweran.

"Alhamdulillah, hasilnya banyak nak, bisa bayar sekolahmu yang nunggak satu bulan dan beli susu adik"

"Kenapa adik dibelikan susu Bu? Apa adik tidak minum susu Ibu lagi?

"Tidak nak, biar adik mandiri tidak minum susu Ibu lagi, adik kan mau besar"

"Oh iya Bu"

Saat Ibu pulang, Bapak sering memarahi Ibu, Bapak cemburu, Bapak melarang Ibu untuk menari, tapi Ibu tidak mau. Ibu pernah berhenti menari, tapi kami tidak makan. Bapak hanya berjanji, tapi Bapak tidak mau bekerja. Akhirnya, Ibu menari lagi.

Ibu menari setiap hari senin dan kamis, tapi Ibu juga sering menari di rumah orang, jika ada yang mengundangnya. Ibu masih muda, cantik jadi banyak yang suka Ibu. Aku selalu ikut kemana pun Ibu pergi, termasuk saat Ibu menari di rumah orang. Tapi aku hanya duduk di luar, aku tidak boleh ikut. Saat kami berjalan, Ibu selalu memakai payungnya, padahal tidak ada hujan atau panas. Kata Ibu untuk melindungi diri.

Saat Ibu menari, Bapak selalu di rumah sambil tidur, terkadang menggendong adik jika adik tidak aku bawa. Aku tidak mau di rumah dengan Bapak, karena Bapak suka memarahiku, padahal aku hanya lupa tidak membuatkannya kopi pahit. Bapak tidak pernah bekerja, jadi Ibu yang menari mencari uang. Ibu sayang kami.

Teman-teman Ibu sering curiga dengan Ibu, padahal Ibu tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya iri karena Ibu lebih cantik dan Ibu lebih muda dari teman-temannya. Ibu sering membasuh payungnya dengan air sungai di sebrang sana, karena airnya jernih katanya. Ibu juga sering mandi di sana, aku juga diajak oleh Ibu.  Saat itu, Ibu pamit akan pergi, tapi Ibu tidak menari, karena Ibu hanya memakai baju putih. 

Suara toak dari masjid terdengar, terdengar berita duka yaitu kematian. Tiba-tiba disusul lagi berita duka dengan nama yang berbeda, ada sembilan orang yang diberitakan meninggal secara tiba-tiba, sembilan orang itu laki-laki semua. Aku ingat, orang-orang itu adalah yang pernah mengundang Ibu untuk menari, dan sekarang Ibu belum pulang,  Ibu juga hilang.

Aku membuka peti Ibu, payung Ibu tidak ada. Tetapi, ada sebuah kertas, aku takut membukanya, karena Ibu selalu melarangku. Tapi, aku terpaksa harus membuka peti dan kertas kusam itu.  Perlahan aku membukanya, dan kertas itu bertuliskan "Yang kesepuluh adalah kamu".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun