Ngabuburit adalah istilah yang berasal dari Bahasa Sunda dan sering digunakan masyarakat yang menggambarkan keadaan sore hari untuk menanti kumandang azan magrib menjelang berbuka puasa pada bulan ramadan. Biasanya ngabuburit diisi dengan kegiatan seperti tadarus Al-qur'an, menyiapkan menu berbuka puasa, berkumpul bersama teman-teman, keluarga, jalan-jalan sore dan berburu takjil.
Semakin bertambah tahun dan didukung perkembangan teknologi yang semakin pesat, tradisi ngabuburit banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menunjang produktivitas seperti :
- Mengikuti Seminar Melalui Daring
- Belajar Ketrampilan Baru
- Menjadi Relawan Selama Bulan Ramadan
- Membaca Dan Menulis Jurnal Selama Bulan Ramadan
Salah satu kegiatan yang sedang saya lakukan untuk mengisi waktu luang menjelang senja menanti syahdunya suara azan pertanda berbuka adalah membaca dan menulis, menjadikanya refleksi diri untuk langkah selanjutnya.
Novel yang sedang saya baca saat ini merupakan novel terjemahan Korea Selatan buah tangan Jung Yeol yang berjudul "Beauty Of Trauma", Seni Merangkul Diri Sendiri bahasa kerennya. Novel terbitan Transmedia Pustaka ini diterjemahkan oleh Dwita Rizki Nientyas berjumlah 346 halaman dan cetakan pertamanya pada tahun 2021 dan bergenre pengembangan diri.
Sinposis novel Beauty Of Trauma mengajak kita untuk tidak takut terhadap luka. Luka merupakan sesuatu yang harus dihadapi walau prosesnya sangat menyakitkan. Jika kita biarkan luka begitu saja, tanpa benar-benar bisa sembuh dan pulih, yang terjadi adalah luka akan berkembang menjadi trauma yang lebih dalam.
Ada beberapa kutipan dari novel ini yang menjadi panduan ketika saya merasakan titik jenuh kehidupan yang saya jalani diantaranya :
"Terlihat baik-baik saja bukan berarti seseorang yang tidak terluka". (Halaman 27)
"Luka tidak akan benar-benar pulih hanya dengan mekanisme pertahanan ego, justru akan menghalangi proses pemulihan luka yang sesungguhnya. Mekanisme ini membuat kita memusatkan energi untuk kabur dari masalah alih-alih menyelesaikannya".(Halaman 153)
Novel ini menjelaskan kepada kita bahwa setiap kehidupan memiliki misi yang harus dijalani, sulit ataupun mudah adalah bagian terkecil dari cerita kehidupan yang sudah digariskan. Pelajaran dan hikmah yang kita dapatkan akan menjadi catatan bekal kita untuk melanjutkan langkah sebelum waktunya berpulang.
Dua dari barisan kata dan kutipan diatas memberikan pesan sebuah pencerahan untuk mereka yang tersesat dalam alam fikiran, bahwa Trauma bisa dihadapi bukan alih-alih lari dan akhirnya semakin perih, Seni Merangkul Diri sebagai ikon dari novel ini mengajarkan kita bagaimana caranya bersahabat dengan luka bukan sekedar menangisi atau bahkan terus menyesalinya.
Kesabaran, ketulusan dan kepercayaan menjadi faktor dasar yang harus kuat dimiliki karena kenyataanya dewasa bukan berdasarkan angka kehidupan tetapi bagaiaman cara pandang kita terhadap suatu masalah dan menyelesaikan tantangan yang diberikan Tuhan.
Uniknya disetiap akhir bab pada novel ini disediakan satu pertanyaan yang bisa kita jawab untuk  merefleksikan bagaimana keadaan kita setelah membacanya, berbagi opini bahkan tidak jarang berbagi luka lewat tulisan yang secara tidak langung memberikan ruang untuk jiwa kita melepaskan penatnya beban.