Mohon tunggu...
Tia Enjelina
Tia Enjelina Mohon Tunggu... Penulis Lepas

Suka mengamati kehidupan, perasaan, lalu jadi tulisan. Kadang serius, kadang satir, kadang cuma curhatan yang dibumbui sedikit gaya berpikir biar kelihatan keren.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Labour: Ketika Cinta Berarti Kerja Lembur Tak Dibayar

4 Mei 2025   11:53 Diperbarui: 4 Mei 2025   11:53 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Freepik)

Sepanjang hari, setiap hari---menjadi terapis, menjadi ibu, menjadi pembantu.Perawan saat kau mau, pelacur saat kau minta,
perawat saat kau sakit, pelayan saat kau diam.

Kau sebut ini cinta?
Cinta tak membuatku memendam suara.
Cinta tak menyuruhku mati pelan-pelan
demi memastikan kau hidup nyaman.

Aku bukan tubuh tanpa kehendak,
bukan piring kotor yang menunggu dicuci,
bukan tempat tidur yang kau datangi
saat dunia tak lagi ramah padamu.

Kau bilang: aku terlalu sensitif.
Padahal aku cuma perempuan
yang belajar mendengar dirinya sendiri
setelah sekian lama dibungkam atas nama kesabaran.

Ini bukan cinta---
jika hanya aku yang bekerja,
jika hanya aku yang mengerti,
jika hanya aku yang lelah.

Mungkin akan seperti itu lirik lagu Labour jika dinyanyikan oleh penyanyi Indonesia ya? Labour bukan sekadar lagu, melainkan jeritan pelan yang menyelinap lewat melodi, lalu menancap dalam di kepala para perempuan-perempuan yang lelah. Dirilis oleh Paris Paloma, penyanyi asal Inggris yang belum lama dikenal oleh publik secara luas, lagu ini meledak bukan karena promosi label besar, tapi karena gaungnya yang kuat di ruang sosial media, terutama TikTok.

Tak sedikit pengguna yang menggunakan potongan liriknya untuk menyuarakan pengalaman menjadi perempuan yang "harus" sabar, harus mengurus rumah, harus jadi pendengar keluh, harus mengerti... semua tanpa pernah diminta. Lirik seperti "All day, every day, therapist, mother, maid, nymph then a virgin, nurse then a servant" menjadi peluru sunyi yang menghantam kesadaran banyak orang, terutama perempuan, tentang kerja emosional yang sering dianggap enteng.

Di TikTok, video-video dengan latar lagu Labour diisi cuplikan pengalaman pribadi: seorang ibu muda yang kelelahan, seorang remaja perempuan yang diminta dewasa terlalu cepat, seorang istri yang hidup dalam hubungan tak seimbang. Lagu ini menjadi semacam anthem yang memvalidasi perasaan-perasaan para perempuan yang lelah, marah, dan kecewa yang selama ini dipendam karena takut dianggap berlebihan.

Secara musikal, Labour tampil lembut, tidak meledak-ledak seperti lagu protes pada umumnya. Tapi justru di situlah kekuatannya: tidak berteriak, melainkan menyayat. Nada folk yang tenang, suara Paris yang rapuh sekaligus tegas, memberi ruang bagi pendengarnya untuk merenung.

Fenomena yang disuarakan Labour bukan hal baru. Sejak abad ke-19, ketika revolusi industri mendorong laki-laki masuk ke dunia kerja publik, perempuan justru semakin dikurung dalam peran domestik. Budaya patriarki membungkusnya dengan kata "cinta" atau "kodrat" bahwa memasak, membersihkan, memelihara anak, hingga memelihara ego suami adalah bentuk kasih sayang tulus yang tak perlu dihitung atau dibayar.

Di tahun 1970-an, gerakan feminis sudah menyuarakan bahwa "kerja rumah tangga adalah kerja" (housework is work) bukan sesuatu yang otomatis muncul dari cinta. Tapi hingga hari ini, banyak perempuan tetap tumbuh dalam sistem yang mengajarkan bahwa mengurus orang lain adalah panggilan mulia, bahkan saat diri sendiri habis tak tersisa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun