Mohon tunggu...
Tia Enjelina
Tia Enjelina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (20107030043)

Communication kid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pergeseran Makna "Rukun" di Kalangan Masyarakat Pedesaan

13 Juni 2021   12:22 Diperbarui: 16 Juni 2021   08:21 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: sapadunia.com

Desa mawa cara negara mawa tata. Peribahasa yang sudah tidak asing lagi di teliga orang Jawa. Menggambarkan masyarakat yang menghargai pluralitas, peribahasa ini bermakna setiap daerah memiliki adat istiadat masing-masing dan setiap negara memiliki hukum dan peraturan sendiri untuk mengatur rakyatnya, yang tidak dapat disamakan satu dengan yang lainnya.

Hal ini terus membayangi pikiran saya beberapa hari belakangan, setelah obrolan saya dengan kedua orang tua saya yang berakhir dengan kalimat "yowes lha witikno, desa mawa cara" atau "yasudah mau bagaimanapun, memang adatnya seperti itu."

Kami membicarakan soal sifat "pekewuhan" atau nggak enakan yang telah mendarah mendaging bahkan menjadi ciri khas karakter masyarakat jawa, apalagi yang hidup di daerah pedesaan.

 Kata "pekewuh" ini hampir selalu saya dengar dari orang-orang di sekitar saya ketika akan ada beberapa warga desa yang punya hajat (jagongan; bahasa jawa) di hari yang berdekatan.

Yang dimaksud dengan jagong yaitu datang ke acara pernikahan, khitanan, acara syukuran atas kelahiran anak ataupun acara-acara yang lain yang si pemilik hajatan mengedarkan undangan dari orang-orang terdekat hingga orang-orang yang tidak dikenal sekalipun, kemudian tamu akan menyumbang sejumlah uang mulai dari tiga puluh ribu rupiah hingga ratusan ribu sampai jutaan. Biasanya sumbangan untuk tetangga berkisar antara tiga puluh ribu rupiah hingga ratusan ribu rupiah, dan jika untuk keluarga dan kerabat jumlahnya bisa lebih dari itu.

Jumlah sumbangan bisa saja bebas sesuai kemampuan jika akan jagong/menyumbang ke orang yang belum pernah saling jagong/menyumbang sebelumnya. Namun jika sebaliknya, bergantung pada berapa jumlah yang pernah diberikan sebelumnya. Hal ini kami sebut dengan istilah "kepotangan". Misalnya ketika si A menikah pada tahun 2016 dan si B menyumbang sejumlah seratus ribu rupiah, si B yang menikah pada tahun 2020, si A mendapat giliran untuk menyumbang minimal seratus ribu rupiah atau akan dianggap lebih bagus jika ditambah jumlahnya.

Untuk orang yang berkecukupan secara finansial, tradisi ini tidak akan menjadi masalah besar bagi mereka. Namun untuk orang yang tingkat perekonomiannya menengah kebawah, dibanjiri dengan undangan hajatan tentunya sangat menyulitkan mereka. Kadang-kadang, dalam satu bulan mereka harus menghadiri bisa sampai puluhan undangan. 

Akan tetapi tidak peduli kebutuhan sehari-hari yang masih saja mepet, pada umumnya orang-orang akan mencari cara bagaimanapun untuk tetap bisa jagong atau menyumbang. Entah dengan cara berhutang, ataupun menjual barang-barang yang mereka miliki. Meskipun mereka tidak pernah mengadakan hajatan sama sekali, mereka bisa jagong/menyumbang kepada orang yang sama berkali kali, dan itu semua didasari rasa pekewuh.

Di obrolan kami, sesekali saya menggoda ibu saya dengan mengatakan ibu saya pelit jika dimintai uang untuk membeli buku, tetapi selalu tancap gas setiap mau jagong meskipun sedang tidak punya uang lebih hehehe. "lha jenenge wae urip neng ndeso ki pra yo rukun" itu jawaban yang agak 'ngegas' dari ibu saya yang artinya "namanya juga hidup di desa harusnya ya rukun" kemudian ayah saya mengatakan sudut pandangnya yang menarik menurut saya, bahwa memaksakan diri untuk menyumbang di acara hajatan adalah pemaknaan kata rukun yang kurang tepat. 

Dipengaruhi juga dengan keinginan beliau untuk tidak pernah mengadakan hajatan yang mengharuskan orang menyumbang, menurut ayah saya it's okay untuk tetap jagong ketika sedang punya uang lebih, namun sebenarnya masih banyak perbuatan-perbuatan lain yang lebih bermanfaat ketimbang menyumbang orang hajatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun