Dahulu kala, di Tiongkok, orang yang akan menjadi pejabat negara wajib memenuhi dua syarat penguasaan ilmu; Matematika dan Sastra. Matematika diwajibkan tentu bukan untuk menghitung untung rugi insentif jabatan, melainkan unsur logika dan tahapan berpikir dengan kewarasan akal. Sastra diwajibkan agar nantinya si pejabat mampu membuat narasi dengan diksi yang tidak membingungkan rakyat.
Narasi dengan diksinya memiliki banyak sekali semburat spectrum sosial. Jika sang pejabat tidak hati-hati memilih dan memakainya, maka akan menimbulkan kebingungan, kecemasan, ketakutan, rasa frustrasi dan bahkan mengobarkan naluri anarkisme.Â
Tradisi semacam itu dilakukan sampai ke jenjang Kepala Pemerintahan. Sebetulnya, bukan tradisinya yang penting, melainkan fakta, bahwa sudah sejak lama ada semacam kewajiban bagi para pejabat, apalagi Kepala Pemerintahan, untuk dapat bernarasi dengan diksi yang bagus.
Bernarasi dengan diksi yang bagus, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun sebetulnya tetap bisa dilakukan dengan sering belajar dan berlatih seni beretorika, apalagi bagi seorang pemegang jabatan tertinggi di suatu negara. Untuk posisi ini, dibutuhkan sosok yang mampu bernarasi dengan diksi yang handal. Itu karena posisinya mengharuskannya berhadapan dengan rakyat, mengayomi mereka, melayani dan menyelesaikan seluruh permasalahannya.
===
Tentu bisa dibayangkan apa yang terjadi jika kepala negara tak mampu bernarasi, nasib rakyat yang jadi taruhannya. Dan inilah yang terjadi di negara kita tercinta, Indonesia. Rakyat dibuat bingung dengan narasi yang dikemukakan Presiden Jokowi. Dan sayangnya, narasi yang membingungkan itu disampaikan pada saat negara sedang mengalami pandemik yang sampai sekarang korbannya kian bertambah.
Rancunya, narasi Presiden Jokowi dimulai pada saat wawancara dengan Najwa Shihab pada 23 April 2020. Saat itu Presiden Jokowi mengemukakan bahwa MUDIK dan PULANG KAMPUNG itu berbeda. Pernyataan ini sungguh sangat kontroversial karena yang jadi masalah bukan makna leksikon dari kedua kata itu.Â
Presiden mempergunakan makna terhadap dua istilah, di luar kelaziman maknanya. Sebetulnya sah-sah saja jika Presiden memberi makna baru bagi Mudik dan Pulang Kampung. Hanya saja persoalannya adalah, situasinya sedang dalam ketakutan, kecemasan dan ketidakjelasan. Yang dilakukan Presiden malahan memperparah situasi yang dialami rakyat.
Tidak cukup berhenti sampai di situ. Pada 7 Mei 2020, sebagaimana dilansir CNN Indonesia, Presiden Jokowi kembali mengemukakan pernyataan dengan narasi yang membingungkan. Melalui akun resmi media sosialnya pada Kamis (7/5), Jokowi meminta masyarakat agar berdamai dengan Covid-19, hingga vaksin virus tersebut ditemukan.
Pernyataan Jokowi itu pun kemudian menjadi ramai di media sosial, karena hal itu bertentangan dengan apa yang disampaikannya dalam pertemuan virtual KTT G20 pada Maret lalu. Kala itu, Jokowi secara terbuka mendorong agar pemimpin negara-negara dalam G20 menguatkan kerja sama dalam melawan Covid-19, terutama aktif dalam memimpin upaya penemuan anti virus dan juga obat Covid-19. Bahasa Jokowi kala itu, 'peperangan' melawan Covid-19.
===