Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jalan-jalan ke Tamu Kianggeh, Pasti Bertemu Orang Indonesia

18 April 2017   09:29 Diperbarui: 18 April 2017   10:22 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tamu Kianggeh. Foto/http://erebus.rssing.com

MALAM itu, bus tiba-tiba berhenti di tengah kota. Sopir dan kondekturnya yang berasal dari Jawa Timur meminta saya turun. Ternyata bus yang saya tumpangi dari kota Miri, Malaysia Timur sudah sampai tujuan di kota Bandar Seri Begawan, ibu kota negara Brunei Darussalam.

Waktu sudah masuk magrib, gema azan sudah berkumandang dan terdengar nyaring di kejauhan. Saya bergegas turun dari bus dan terbaca sebuah papan bertuliskan “Tamu Kianggeh” persis beberapa meter dari tempat bus berhenti. Selintas saya baca kemudian berlalu dengan rasa penasaran.

Malam itu saya belum tahu tentang apa itu Tamu Kianggeh. Saya segera nyeberang jalan menuju ke sebuah penginapan murah yang direkomendasikan oleh sang kondektur bus. Jaraknya tidak jauh, cukup jalan kaki sekitar lima menit. Harga penginapan sangat terjangkau, 80 Dollar Brunei atau sekitar 250 ribu rupiah per malam.

Setelah beres-beres, tanpa menuggu lama, malam itu juga saya langsung menuju masjid Sultan Omar Ali Saefudin yang selama ini selalu saya lihat di televisi. Di masjid yang terkenal dengan masjid kuba emas itu, saya bertemu warga Indonesia asal Mentok, Bangka Belitung dan Lombok, NTB.

Brunei di malam hari sangat sepi. Tidak ada hiburan malam, tidak ada pusat perbelanjaan yang gemerlap, padahal itu di tengah-tengah ibu kota negara. Jam 10 malam, jalan raya bisa dibilang kosong, nyaris tidak ada kendaraan layaknya di Kuala Lumpur, Bangkok, Singapura dan Jakarta yang tak ada matinya.

**

Pagi-pagi, kota Bandar Seri Begawan sudah mulai ramai. Jalan raya penuhi dengan kendaraan pribadi dan angkutan kota. Toko dan warung mulai beroperasi. Pasar dipenuhi oleh pengunjung dari seluruh pelosok daerah.

Dari hotel, saya menuju papan Tamu Kianggeh yang saya lihat tadi malam. Ternyata itu nama sebuah pasar tradisional yang tentu tidak beda jauh dengan pasar-pasar tradisional lain di negara ASEAN. Kita pasti sudah punya  gambaran apa saja isinya.

Bagi penduduk setempat, Tamu Kianggeh memiliki sejarah tersendiri karena merupakan pasar tertua, sudah berdiri lama sejak tahun 1060an dimana Brunei saat itu masih merupakan wilayah protektorat Inggris.

Ternyata dalam bahasa Melayu Brunei, tamu berarti pasar. Jadi Tamu Kuanggeh artinya Pasar Kianggeh. Supaya tidak sia-sia, saya coba masuk melihat-lihat ke dalam pasar, melewati jembatan kecil. Kondisi Tamu Kianggeh cukup bersih dan rapih.

Di dalam pasar, saya langsung berhenti di gerai batu akik yang menjajakan berbagai jenis batu. Saya coba beli batu jenis lumut katanya lumut Borneo. Karena perut sudah lapar, Saya beli sarapan makanan khas Brunei Darussalam yaitu Nasi Katok yang tak jauh dari gerai batu akik. Nasi Katok harganya cukup murah 1 Dollar Brunei atau setara dengan Rp. 3,000.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun