Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Serial "Layangan Putus" dan Kegundahan Kaum Hawa

16 Januari 2022   03:17 Diperbarui: 1 Februari 2022   21:10 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Cerdas dan bijaksana dalam mencermati setiap masalah, akan membantu kita bisa berpikir jernih menilai diri dan orang lain di sekitar kita."

SERIAL "Layangan Putus" telah berhasil menghipnotis penggemarnya, terutama kaum Hawa yang menontonnya penuh emosi. Maklum saja situasi yang digambarkan dalam rumah tangga Aris dan Kinan sangat berpotensi terjadi pada setiap rumah tangga dalam dunia nyata. Apalagi kabarnya kisah tersebut berasal dari  catatan "curhatan" seorang ibu di media sosial.

Masalah benar tidaknya isi curhatan tersebut, tidaklah penting sekali. Apa yang paling penting adalah kisah tersebut berhasil divisualisasikan oleh tangan terampil sutradara Benni Setiawan dan para pemeran utamanya Reza Rahadian (Aris), Putri Marino (Kinan), dan Anya Geraldine (Lydia).

Secara teori, ide atau gagasan yang disampaikan ke publik baik secara lisan ataupun tulisan, dinilai berhasil apabila mampu mengundang reaksi pihak lain, baik positif maupun negatif. Dalam hal ini, "Layangan Putus" telah berhasil menggelitik daya literasi kita. Wlau sudah lama serialnya berakhir, terminologi "Layangan Putus" tetap saja menjadi bahan candaan atau sindiran di kalangan kaum Hawa.

Pada kesempatan ini saya ingin menyoroti "Layangan Putus" dari sisi psikologis masyarakat yang digugah lewat serial tersebut. Sebenarnya setiap isu yang berkaitan dengan poligami akan selalu saja "heboh" karena yang terbayang adalah "keruntuhan" rumah tangga yang telah sekian lama terbina.

Seorang teman bicara kepada saya bahwa laki-laki yang berpoligami ibarat meruntuhkan istana keluarga yang telah dibina. Yang membuat saya sedikit gagal paham, mengapa berpoligami sama dengan keruntuhan? Apakah tidak bisa kita melihat sisi lain, yakni membina lagi istana? Artinya membangun tanpa harus meruntuhkan istana yang telah ada?

***

Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah lebih baik kalau terlebih dahulu kita luruskan terminologi yang berhubungan dengan praktek perkawinan, sebagai berikut: (1). Monogami adalah praktek perkawinan baik laki-laki atau perempuan dengan hanya satu orang pasangan saja; (2). Poligami bermaksud lelaki atau perempuan yang memiliki lebih dari satu orang pasangan dalam satu masa; (3). Poligini merujuk praktek perkawinan seorang lelaki dengan lebih satu orang istri dalam satu masa; (4). Poliandri bermakna seorang perempuan yang memiliki lebih dari satu orang suami dalam satu masa.

Berdasarkan terminologi tersebut, yang paling menjadi sorotan adalah praktek poligini, ibarat pandemi Covid-19 yang membuat masyarakat tak berkutik sedikitpun. Sendi-sendi kehidupan menjadi lumpuh tak berdaya. Namun apa daya, momok yang menakutkan itu akan senantiasa ada dalam kehidupan manusia sampai kapanpun.

Pertanyaannya, apakah poligini pasti akan membuat rumah tangga jadi tak tentu arah? Jawabannya bisa "iya" dan bisa juga "tidak". Faktanya tidak semua keruntuhan rumah tangga disebabkan oleh poligini. Justeru tak sedikit keluarga yang berpoligami, menjalani hidup sehari-hari layaknya rumah tangga lain dengan baik dan rukun-rukun saja. Bahkan dalam sebuah masyarakat tertentu, ada keluarga yang terdiri dari seorang perempuan, hidup rukun dengan tiga orang suami dalam satu masa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun