Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meluruskan Imej TKI

5 Mei 2019   21:00 Diperbarui: 5 Mei 2019   21:04 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merantau ke negeri orang sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala. Diketahui bahwa kaum perantau ini disebut sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Mereka rata-rata berpendidikan rendah sehingga jenis bidang pekerjaan  yang mereka geluti didominasi oleh jenis pekerjaan di lapangan yang tidak memerlukan keahlian khusus dan hanya mengandalkan otot, misalnya pekerja konstruksi dan petugas kebersihan.

Di sisi lain, kaum perantau yang memiliki keahlian khusus dalam bidang kerja terampil dengan ciri khas mengandalkan keahlian khusus dan dominan kerja otak seperti guru, dosen, pilot, diplomat, perawat, ahli perniagaan dan lain sebagainya tidak dikategorikan sebagai TKI. Mereka datang ke luar negeri untuk bekerja atau sengaja tinggal dan bekerja karena sebab perkawinan dengan warga setempat. Prakteknya, mereka itu sama-sama orang Indonesia yang bekerja mencari rezeki baik dengan otot maupun otak.

Melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, Pemerintah Indonesia memberi istilah Pekerja Migran Indonesia (PMI) bagi mereka yang merantau dan bekerja di luar negeri.

Dalam beberapa artikel sebelum ini, saya menyatakan bahwa terminologi TKI, PMI, BMI, dan apa saja yang menunjukkan eksistensi kaum perantau di luar negeri adalah tenaga kerja. Jadi terminologi TKI bukan saja mereka pekerja semi terampil yang sering dilihat sebagai buruh kasar melainkan juga mereka yang bekerja dengan status sebagai tenaga kerja semi terampil dan terampil atau bahkan tenaga ahli.

Masyarakat umum baik di dalam negeri maupun di luar negeri beranggapan bahwa TKI itu adalah mereka yang bekerja sebagai buruh semi terampil di luar negeri. Sering rekan-rekan saya di dalam negeri bertanya kamu di Malaysia sebagai TKI ya? Saya jawab "iya." Ketika tahu saya tidak bekerja yang dominan tenaga otot, mereka justru menanggapi kalau itu bukanlah TKI.

Anggapan masyarakat bahwa TKI itu adalah hanya mereka yang bekerja kasar saja itu sah-sah saja. Namun kurang tepat dan cenderung mendeskreditkan mereka yang merantau dan bekerja tanpa keterampilan otak karena bekerja dengan otot juga sebuah keterampilan.

Kalau sekiranya ingin mengubah imej kaum perantau dari stigma miring yang mana selama ini dicap sebagai buruh kasar, maka semua pihak harus lebih serius mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

buruknya imej TKI di luar negeri adalah kesalahan masyarakat sendiri dalam memahami konsep kerja dan pola migrasinya sebuah masyarakat yang melewati batas wilayah teritori sebuah negara. Pemerintah juga kurang memperhatikan kualitas tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri. Keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) sering sekedar menjadi formalitas belaka.

Dalam kurun waktu yang cukup lama, mulai dari pembinaan tenaga kerja sejak perekrutan,  penempatan, dan setelah kembali ke tanah air, kurang diperhatikan. Seolah-olah apabila sudah dikirim dan mendapat tempat kerja di luar negeri, tugas dan kewajiban pemerintah sudah beres. Hal inilah yang membuat tenaga kerja semi terampil sulit keluar dari status sebagai TKI sehingga opini masyarakat umum dengan sendirinya tergiring dan membentuk pemahaman yang merujuk kepada buruh kasar.

Tujuan diterbitkannya UU No. 18 Tahun 2017 yang intinya bertujuan ingin menghapus pengiriman tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan kerja, seperti asisten rumah tangga dan buruh kelapa sawit, menjadi sinyal baik untuk ke depannya. Sistem dan situasi yang tidak enak harus dipaksa demi memperbaiki imej TKI di mata masyarakat negara penerima, sekaligus memperbaiki daya tawar Indonesia dalam hal pengiriman tenaga kerja terampil.

Meratifikasi aturan tersebut akan terwujud apabila pemerintah menggandeng dunia pendidikan untuk membekali siswa dengan kemahiran kerja yang memadai sesuai kebutuhan pasar global. Dengan demikian, pekerja migran di luar negeri tidak akan lagi hanya menjadi buruh kasar, akan tetapi mampu mengisi kebutuhan di sektor formal dan investasi yang berfokus pada perkembangan ekonomi makro dan mikro.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun