Pesta demkrasi "Pilkada Serentak" tahun 2018 di 171 daerah Indonesia, sudah usai dua pekan lalu. Hasil versi hitungan cepat atau quick count dan real count juga sudah keluar. Namun ternyata masih banyak pasangan calon pemimpin daerah yang telah dinyakan kalah dalam hajat demokrasi tersebut tidak legawa dengan hasil yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Kekalahan memang suatu hal yang cukup meyakitkan, tetapi kekalahan sudah menjadi konsekuensi dari sebuah perlawanan atau pertandingan. Dalam situasi ini, justru menguji sportifitas dan kebesaran jiwa para elit politik yang bertanding.
Mengingat banyak pasangan calon yang tidak legawa dengan hasil Pilkda, berarti banyak pasangan calon yang hanya siap menang namun tidak siap kalah. Seharusnya semua pasangan calon bersedia dan siap untuk kondisi menang-kalah dengan menjunjung slogan "Siap Memimpin dan Siap Dipimpin."
Mencermati hal ini, tentu sangat memalukan sekaligus mencederai demokrasi dan nilai mufakat karena Pilkada itu sendiri merupakan fase untuk menghasilkan pemimpin publik atau "negarwan" yang ksatria. Dan kata ksatria itu, bukan sebatas untuk diucapkan tetapi harus dipraktikkan karena dapat dijadikan pelajaran bagi generasi muda Indonesia. Â
Kekalahan merupakan gambaran penerimaan rakyat secara umum. Maka ketika dinyatakan halah, itu berarti rakyat belum menghendaki pasangan calon tersebut, dan hendaknya memberikan peluang kepada pasangan yang menang untuk berbuat sebagaimana kehendak rakyat sebagai cerminan demokrasi dan politik yang matang.
Kemenangan merupakan keberhasilan semua rakyat. Untuk itu, pasangan yang menang harus bisa merangkul pihak yang kalah supaya mereka tidak merasa sudah jatuh tertimpa tangga pula. Baik pasangan yang menang maupun pasangan yang kalah, sebaiknya menjaga sikap dan sama-sama menjaga situasi politik yang kondusif demi negara dan bangsa Indonesia.
Sekadar berbagi.
Batam: 09072018