Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cara Ibu Mengeja Kematian

19 November 2022   21:31 Diperbarui: 20 November 2022   11:36 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com

"Mama nggak ada..." isak adik angkatku dari ujung telepon. Kakiku mendadak lemas. Lututku gemetar. Aku, yang semula berdiri tegak, seketika bersandar pada dinding kamar. Kabar itu kuterima siang hari, tiga puluh menit menjelang adzan dzuhur.

Pada malam sebelumnya, aku masih bertelepon dengan Ibu. Saat itu, Ibu mengungkapkan kesedihan karena berturut-turut anggota keluarga besar kami berpulang menuju haribaanNya.

"Keluarga kita sedang kena musibah," ucap Ibu yang segera kutimpali, "Sudah ketentuan Allah, Bu," kataku.

Ibu menyebutkan satu persatu nama saudara-saudara kami yang meninggal dalam waktu berdekatan dan belum lama berselang. "Tapi, benar katamu, semua ini ketentuan Allah," kata Ibu, "dan kita harus ikhlas."

"Ya, Bu, kita harus ikhlas," sambutku.

Empat puluh hari sebelumnya, Ibu meminta adiknya untuk membersihkan rumah, kasur dan mencuci seprei. "Anak-anak akan pada pulang," katanya kepada Bibi, adik Ibu yang keempat. Selama ini, Bibi tinggal di Bandung. Baru tiga bulan ia pulang kampung dan tinggal di rumah bersama Ibu.

"Siapa aja yang pulang?" tanya Bibi.
"Semuanya,"
"Termasuk si bungsu?"
"Ya,"
"Dari Makassar?"
"Iya."
"Kapan?"
"Akhir bulan depan," jawab Ibu.

Bibi menuruti permintaan kakaknya tanpa banyak bertanya lagi. Bukan karena tak ingin bertanya melainkan karena Ibu melarangnya banyak tanya.

Tiga puluh hari sebelum mangkat, Ibu meneleponku. Ibu menyinggung soal tetangga, rumah dan tanah. Ibu mendengar selentingan bahwa tetangga sebelah kanan rumah memperkarakan bangunan rumah yang dianggap 'makan' tanahnya. Saat itu, aku berusaha menenangkan Ibu, memintanya agar tidak memikirkan hal itu. Biar kami, anak-anaknya, yang akan menyelesaikannya.

"Ya, Ibu minta tolong diselesaikan, ya.." pintanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun