Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Humor Itu Serius dan Tidak Adil

22 Mei 2020   00:23 Diperbarui: 22 Mei 2020   13:03 2367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Andre Taulany dan Rina Nose. Sumber foto: kompas.com

Meski demikian, Warkop DKI sebenarnya beruntung. Ketika mereka menyampaikan humor tersebut, masyarakat Indonesia tidak sedang mengalami kemiskinan sense of humor tapi kemiskinan kemerdekaan dan kemiskinan ekonomi. 

Jadi, saat itu, masyarakat mengalami kekangan dalam hal kebebasan (berpendapat) serta terhimpit secara ekonomi alias miskin. Maka, bagi hampir sebagian besar masyarakat saat itu, humor/berhumor adalah jalan ampuh untuk keluar dari keterhimpitan.

Keterhimpitan atau penderitaan yang dirasakan secara massal/komunal akan melahirkan sebuah kebutuhan yang sama, disadari maupun tidak, yaitu kebutuhan untuk melepaskan sumbatan yang menderitakan. Humor hadir untuk melawan rasa tertekan itu.

Dengan demikian, melawak dalam situasi masyarakat yang miskin kemerdekaan dan ekonomi, ancamannya justru bukan datang dari masyarakat tetapi dari penguasa. Selama penguasa merasa tidak 'terganggu', ya aman saja. Sebaliknya, jika penguasa terganggu, ganjarannya, bisa jadi, adalah penjara (atau nyawa?).

Tapi, harap tenang! Seingat saya, belum ada pelawak yang masuk bui gara-gara melawak. Kenapa? Karena pelawak itu mahluk istimewa. Mereka adalah komponen masyarakat dengan kemerdekaan tertinggi.

Di zaman kolonial, Ibu Sri Mulat pernah menciptakan dan memerankan karakter Srikandi Edan. Melalui tokoh edan, pendiri kelompok Srimulat itu melancarkan kritik dengan gaya orang gila nan lucu kepada pemerintah Hindia Belanda maupun kepada para priyayi dan bangsawan Jawa. Dipenjara? tidak. Karena ocehannya dianggap sebagai lelucon belaka.

Di zaman Orde Baru, sejarah komedi Indonesia mencatat ada Warkop DKI, Kwartet Jaya, Tomtam (Qomar CS/Empat Sekawan) dan Bagito Group yang tak jarang melontarkan konten-konten humor yang nyerempet-nyerempet politik dan penguasa.

Begitu pun yang dilakukan Butet Kertaredjasa yang secara karikaturis/komedikal menirukan tokoh-tokoh penting Orde Baru dalam pentas monolognya.

Mengapa mereka aman di zaman itu? Menurut saya, selain karena masyarakat saat itu memiliki sense of humor, juga karena para pelawak secara cerdas mampu meracik dan membungkus kritik dalam suatu humor. Di sisi lain, penguasa kala itu mungkin menyadari kegunaan humor. Maka, mereka membiarkan pelawak bekerja menghibur rakyat supaya rakyat lupa akan penderitaannya.

Kata kuncinya adalah kecerdasan dan kepekaan. Jika memiliki dua hal itu, pelawak akan dapat beradaptasi dengan baik dalam segala situasi masyarakat. Termasuk dalam situasi masyarakat yang mengalami kemiskinan sense of humor. 

Meskipun situasinya akan lebih rumit. Kenapa? Karena, masyarakat yang miskin rasa humor cenderung mudah tersinggung dan memiliki agresifitas yang berlebihan, tidak dapat melihat persoalan secara santuy serta mudah terjebak dalam kemelut hidup dan nestapa. Mereka miskin kreatifitas dalam memandang persoalan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun