Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kebenaran Tak Lagi "Swatantra"

14 September 2018   16:53 Diperbarui: 14 September 2018   19:36 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mau nggak mau, suka nggak suka, harus diakui bahwa bangsa ini sedang terpolarisasi -- jika tak boleh dibilang terbelah -- dalam dua kubu besar. Kubu sono dan kubu sini. Celakanya, makin kesini, polarisasi itu bukannya mencair malah makin mengental.

Salah satu akibatnya, energi negatif berpendaran di mana-mana. Mulai dari status penuh kebencian di media sosial, berita-berita palsu alias hoaks, hingga aktifitas komunal yang cenderung kontraproduktif. Dua kubu sibuk bertahan dan menyerang, lupa bekerja dan berjuang. Sialnya, menyerang adalah berjuang.

Sialnya lagi, hal yang benar bisa disalahkan jika disampaikan oleh kubu lawan. Sebaliknya, hal yang salah dibenarkan sepanjang disampaikan pihak kawan. Kebenaran tak lagi swatantra, tergantung siapa yang bicara. Kebenaran menjadi benar jika dan hanya jika yang menyampaikan kawan sejalan.

Kebenaran kan memang relatif, kata kawan saya. Betul, menurut corespondence theory of truth, kebenaran hanya benar jika ada kesesuaian antara realita objek (informasi, fakta, pendapat, peristiwa) dengan kesan yang ditangkap terhadap subyek.

Singkatnya, kebenaran menuntut adanya kesesuaian antara pikiran/pendapat/tindakan dan (kesan) kenyataan. Dalam bahasa kerennya fidelity to objective reality. Gitu sih kalau kata para realis seperti Plato, Aristoteles, Ibn Sina dan Thomas Aquinas.

Tapi, tunggu dulu! Pikiran maupun kenyataan kan bisa sama-sama subyektif? Nggak bisa dong menilai kebenaran berdasarkan hubungan subyek dengan realitas obyek? Pemahan subyek satu terhadap suatu realitas kan sangat mungkin berbeda dengan pemahaman subyek yang lain. Artinya, benar menurut kita belum tentu benar menurut orang lain. Ya, kan?

Oleh karena itulah perlu ada pengujian secara koheren dan konsisten hingga sesuatu diterima secara umum sebagai kebenaran. Begitu kata Benedictus Spinoza dan George Hegel sebagai penonggak coherency theory of truth.

Rumit? Ya. Tapi bagi penganut teori pragmatisme, semua itu disederhanakan dengan satu alat ukur yang bernama kepentingan. Jika sesuatu hal sesuai dengan keinginan/tujuan atau jika dapat membantu atau mendorong perjuangan biar tetap eksis, maka sesuatu itu akan diterima sebagai kebenaran. Maka, jangan heran jika sebuah kekeliruan yang terus menerus digaungkan sebagai kebenaran pada akhirnya bisa benar-benar  diterima sebagai kebenaran.

Waduh! Malah makin rumit. Mutar-muter omongin teori kebenaran padahal mah pusarannya ada di dua hal belaka. Pertama, kebenaran tidak absolut. Kedua, nah ini celakanya, kebenaran dapat dikondisikan oleh sekelompok orang untuk mencapai tujuannya.

"Eits, tunggu dulu! Ada satu kebenaran yang benar-benar benar alias absolut. Yaitu kebenaran agama," demikian kata penganut kebenaran religius. Kebenaran ini bersifat super-rasional sehingga tidak dapat diperdebatkan dan dibantah, bahkan tidak diperlukan pengujian. Bagi mereka, segala yang sesuai dan koheren dengan wahyu yang tertulis dalam kitab suci atau ajaran agama maka dinyatakan benar.

Sialnya, karena kemutlakannya itulah maka wahyu Tuhan sering dimanfaatkan bukan sebagai rujukan kebenaran namun sekadar alat pembenaran demi kepentingan individu atau golongan. Duh, lagi-lagi kepentingan yang bekerja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun