Mohon tunggu...
Theresia Puspitawati
Theresia Puspitawati Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar, pecinta hidup sehat

Pengajar,dokter gigi,pecinta hidup sehat dan senang menimba dan berbagi ilmu ... hobi membaca, menjahit, pecinta fotografi tinggal di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mozaik Pendidikan Tanpa Belenggu

5 Agustus 2014   16:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:22 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Judul buku  : Oase Pendidikan di Indonesia, Kisah Inspiratif Para Pendidik

Penulis       : Tim Mitra Forum Pelita Pendidikan

Halaman     : 260 halaman

Penerbit     : Tanoto Foundation dan RAS

Tahun        : 2014

Menggambar pemandangan dengan dua gunung dan di tengah tampak matahari, serta di depannya terhampar sawah dengan pohon kelapa melambai di tepi,  adalah  gambar yang nyaris diajarkan di semua  bangku SD.  Matahari harus diwarnai dengan warna kuning, pohon kelapa dengan warna hijau dan gunung dengan warna hitam adalah sebuah keharusan. Bila ada anak yang ‘tampil beda’, memberi warna matahari dengan warna biru, maka akan ada pengurangan nilai.

Itulah salah satu stereotip dunia pendidikan kita yang seringkali kaku, tidak lentur untuk mewadahi imajinasi dan  kreativitas anak-anak. Apalagi dengan berbagai ‘ancaman’ target , maka segala hal akan diupayakan, walau kadang untuk mewujudkannya disisipi kecurangan!

Namun untunglah, sekarang sudah bermunculan beberapa sekolah alternatif yang berani ‘tampil beda’ baik dalam kerangka acuan (baca: kurikulum) maupun dalam proses belajar mengajar.  Inilah yang digarisbawahi oleh Sukanto Tanoto  melalui Tanoto Foundation mulai mengidentifikasi beberapa pendidikan alternatif  yang ada di Indonesia yang dirangkum dalam buku ‘Oase Pendidikan di Indonesia’. Buku ini bertutur tentang aneka kisah cara mendidik sebuah generasi dengan proses yang tidak mengacu pada acuan baku yang digariskan pemerintah, untuk mengapresiasi  mereka yang telah menginisiasi mendidik dengan cara memerdekan anak.

Lihatlah bagaimana Sekolah  Sanggar Alam (SALAM) yang  berhasil memaknai  gentong pecah sebagai embrio dalam membentuk karakter luhur. Kisah ini berawal dari sebuah gentong yang  pecah di kamar mandi yang membuat Ken , anak yang nyemplung (masuk) di dalamnya, mengakibatkan kakinya terluka. Kejadian itu membuat anak-anak yang sebelumnya ceria mandi bersama-sama, mendadak diam dan tidak berani keluar.

Tidak mudah ‘mengemas’ sebuah kejadian yang tidak direncanakan untuk dijadikan sebuah proses pembelajaran. Namun di SALAM setiap peristiwa adalah media pembelajaran. Kejadian tersebut dikupas dalam sebuah diskusi dengan bahasa lugas yang mudah dipahami anak-anak. Tuduhan pada anak yang terakhir kali masuk ke dalam gentong sebagai pihak yang bertanggung jawab seolah menjadi cermin, betapa ketika sebuah masalah terjadi senantiasa mengedepankan mencari kambing hitam sebagai tumpuan kesalahan. Sebuah pola pikir yang sudah mengakar kuat di masayarakat.

SALAM yang berlokasi di area yang unik, di tengah sawah ini, berhasil menjadikan kasus gentong pecah sebagai cermin  bahwa sebuah masalah tidak serta terjadi secara spontan tetapi melalui sebuah proses . Intinya bukan mencari siapa yang salah, namun pada proses pemahaman mengapa peristiwa tersebut terjadi sehingga ke depan harus dicegah untuk terulang.

Peristiwa gentong pecah juga mampu mengusik ketidaknyamanan Oka yang sempat mengelak mengakui pernah nyemplung gentong. Bahwa tidak jujur itu membuatnya tidak enak dan deg-deg-an terus akhirnya  membuatnya tidak nyaman dan akhirnya mengaku.  Seandainya saja sikap ini ada pada setiap anak, kita boleh berharap bahwa bukan sebuah hal yang  mustahil negeri ini kelak akan bebas korupsi.

Peristiwa gentong pecah juga memicu sebuah proses diskusi yang berujung pada sebuah kesepakatan bahwa ke depan tidak boleh lagi nyemplung gentong. Anak-anak  belajar untuk bertanggung jawab dengan mengganti gentong yang pecah dengan cara patungan mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual dan uangnya dibelikan sebuah gentong yang baru.

Kisah di atas hanyalah sepenggal kisah dari aneka kisah yang menjadi benang merah membentuk mozaik yang menarik  yang ditampilkan buku  ‘Oase-oase Pendidikan di Indonesia’ ini. Banyak kisah menarik lainnya seperti misalnya betapa menumbuhkan empati bisa dengan cara sederhana. SD Hikmah Teladan di Cimahi misalnya, mempunyai tradisi membacakan cerita untuk anak-anak kelas I. Anak-anak kelas I hanya boleh mendengar, menikmati dan memberikan apresiasi. Bila ada anak yang belum bisa membaca , maka tidak boleh ada kegiatan membaca yang memperlihatkan seorang anak belum bisa membaca, karena hanya akan mempermalukan si anak.

SD Hikmah Teladan juga berani ‘tampil beda’ yakni tidak terpaku pada kurikulum nasional. Sekolah ini tidak akan menegur guru yang tidak memenuhi target kurikulum. Namun di sekolah ini lebih menekankan pada aspirasi guru berdasarkan temuan yang ada sehingga memunculkan janji yang diistilahkan sebagai “Unjuk Kerja”. Unjuk Kerja ini merupakan cara untuk mengapresiasi anak dengan jargon ‘setiap anak adalah hebat’.

Ya setiap anak adalah hebat walaupun anak yang diberi label ‘bermasalah’ oleh mayoritas. Pelabelan ini menjadi entry point di sekolah Semesta Hati. Semesta Hati menolak pelabelan pada anak baik anak yang bermasalah maupun berprestasi. Hal ini sebagai wujud cinta tanpa syarat, suatu hal yang mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan. Namun Semesta Hati sudah melaksanakan.

Guru di sekolah inklusi ini memiliki kredo ‘sekolah tanpa diskriminasi’ yang memandang anak adalah pribadi yang unik dengan segala keragamannya baik latar belakang maupun tingkat kecerdasan maupun perilaku. Ada Gios yang di usia delapan tahun masih kesulitan dalam mengeja huruf. Ada Evan yang sulit berkonsentrasi dan berkomunikasi.

Sekolah ini juga tidak menerapkan prestise dengan indikator target lulus UN 100%, bahkan di sekolah ini muridnya pernah tidak lulus UN 100%! Ya, UN bukanlah segalanya karena di penjuru negeri ini ada begitu banyak yang tidak beruntung bila dinilai secara akademis, namun sekolah ini meyakini bahwa setiap anak punya talenta sehingga bagaimanapun kondisinya, layak diapresiasi.

Selain memaparkan berbagai kisah mendidik anak dengan cara yang ‘berbeda dari kebanyakan’, buku ini juga menampilkan aneka pergulatan sosok guru dalam menjalani profesi. Salah satu contohnya, sertifikasi. Sertifikasi seharusnya dimaknai sebagai upaya menghargai atas kinerja. Namun dalam kenyataan, lebih terpaku pada tunjangan dengan mekanisme sedemikian rupa yang akhirnya  bermuara ke konsumerisme serta beberapa praktek korupsi. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi sumber pembentukan karakter terpuji, namun pada kenyataannya juga ternoda berbagai hal yang akhirnya dimaafkan dengan pembenaran: karena sistem!

Mendidik anak jaman sekarang bukanlah hal yang mudah.  Derasnya arus informasi membuat anak mampu mengaksesnya nyaris tanpa batas. Sementara itu ironisnya  orang tua maupun guru seringkali tertinggal. Tidak mengherankan bila seringkali terjadi kesenjangan. Orang tua dan guru lebih memunculkan kekhawatiran dalam mendidik, sementara anak lebih menganggap yang terlontar dari bibir orang tua dan guru adalah sebuah kenyinyiran.

‘Oase Pendidikan di Indonesia” adalah mozaik  pengalaman mendidik sebuah generasi dengan mata dan hati, alternatif  mendidik dengan ‘berani tampil beda’. Hasilnya sudah terlihat  sebagai  embrio menumbuhkan karakter-karakter luhur yang nyaris tercerabut dari negeri ini yakni jujur, bertanggung jawab dan menghargai keberagaman. Buku ini juga mengajarkan kepada pembaca bahwa kadang kita perlu melepaskan diri dari ‘pakem’ mind stream karena sangat tidak bijak bila kita mendidik anak demi sebuah target yang harus diwadahi dalam bentuk sebuah ‘kurikulum pendidikan nasional’. Apalagi di negeri ini masih bereserakan ketidakberuntungan karena ketidakadilan. Namun kisah-kisah di buku ini telah menjadi bukti bahwa betapa  wadah-wadah yang nyaman itu telah mulai menghasilkan sebuah benih yang kelak akan memberi warna yang diharapkan membawa kebaikan di negeri ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun