Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Feminisme: Aspirasi Politik Perempuan Meraih Kekuasaan dan Perubahan dalam Kebijakan Publik

8 Maret 2023   00:56 Diperbarui: 8 Maret 2023   01:09 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Feminisme adalah paradigma politik yang berkembang pesat di era akhir 90'an. Gagasan tentang kesetaraan dan kesamaan identitas politik berbasis gender yang menupakan unit kebijakan yang baru dalam kajian politik di banyak negara, terutama di Indonesia, namun telah menjadi diskursus yang cukup panjang dalam kajian filsafat sejak lama.

Pemikiran ini merupakan paradigma politik kiri yang berkembang pesat mengakibatkan munculnya pandanga-pandangan politik baru tentang kesetaraan, salah satunya politik gender yang banyak disuarakan oleh populisme perempuan di kalangan masyarakat negara dunia pertama.

Feminisme  muncul sebagai antitesa dari peradaban dunia yang dianggap patriarki, karna berisikan tentang kekuasaan dan kedigdayaan kaum pria dengan menihilkan peran signifikan dari kehadiran kalangan perempuan yang juga berpengaruh dalam praktik kekuasaan. Perebatan tentang peran dan signifikansi antar dua gender memanglah hal yang belum selesai hingga saat ini. Perbedaan pandangan dan sumber referensi yang digunakan selalu jadi permasalahan dalam dunia ilmu pengetahuan.

Pandangan tentang gender telah dipopulerkan oleh Virginia Wolf, seorang novelis wanita abad ke 18 yang banyak mengusung perempuan tema dalam beberapa novel yang ia usung. Lewat sastra tema ini menjadi pemikiran yang populer di tengah masyarakat Eropa, yang kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia hingga saat ini.

Perbedaan fungsi biologis dan peran sosial yang telah terjadi selama ribuan tahun di dunia telah menciptakan banyak stereotype tentang wanita yang justru mendefinisikan wanita sebagai antitesa dari pria. Apabila maskulinitas berarti standarsasi peran seorang individu yang memiliki fitur fisik tertentu, maka perempuan dianggap sebagai antitesa ataupun kebalikan dari berbagai kategoriasi yang disematkan dalam diri seorang laki-laki.

Sebagai contoh, pandangan masyarakat yang merupakan proses kontruksi dari praktik dalam kebudayaan masyarakat di berbagai belahan dunia telah menjadikan pria sebagai ujung tobak kepemimpinan dan seorang yang memiliki kekuasaan atas kelompok mesyarakat yang ia wakili. Kepala suku, kepala desa, kepala adat, ataupun raja di masa itu merupakan seorang pria yang secara visual dapat dikenali dengan suaranya yang lantang dan fitur fisiknya yang menonjol.

Dalam peradaban Yunani kuno, perempuan tidak memiliki suara untuk melakukan pemilihan senat. Dalam sejarah Arab kuno, perempuan tidak lebih dari pelengkap kehidupan dan dianggap beban dalam kondisi peperangan. Begitupun dalam banyak sejarah peradaban di berbagai belahan dunia, perempuan seringkali dianggap jenis kelamin di kelas kedua, yang tidak memiliki signifikansi dan seringkali dilupakan perannya.

Dalam sejarah kerajaan dunia, baik di daratan Eropa maupun Asia  memperlihatkan kalau banyak diantara para perempuan hanya dijadikan alat politik dan kepentingan pribadi, hanya diperhatikan kecantikan dan dikejar keindahan tubuhnya, lalu dijadikan alat transaksi untuk kekayaan dan kekuasaan. Sebagai contoh, banyak pernikahan antara raja dan ratu yang didasari sebagai praktik konsiliasi politik antara dua kerajaan.

Praktek perebutan kekuasaan di masa itu yang belum berdasarkan pemilihan konsesus, mengedepankan praktik-praktik perebutan kekuasaan lewat jalur pertikaian dan pertempuran di medan perang seringkali jadi kebencian dari kalangan feminis yang menganggap kalau praktik kekuasaan semacam itu hanyalah produksi dari budaya patriarti dalam kekuasaan, sedangkan sejarah dunia akan menjadi damai apabila wanita menduduki jajaran strategis dalam kekuasaan.

Kekuasaan yang luas selalu dilatarbelakangi oleh kuantitas peperangan untuk perebutan wilayah, sedang kemampuan fisik, kecerdikan taktik dan bebagai keunggulan di masa itu telah menjadikan pria mengambil penuh kendali atas sejarah kekuasaan di dunia. Begitupun pandangan feminism dalam melihat control di berbagai subsector dalam dunia modern yang masih diiringi dengan praktik kekuasaan oleh kaum pria.

Pandangan feminis hingga saat ini banyak disuarakan oleh berbagai kalangan mancanegara, aspirasi perjuangan untuk kesetaraan kaum wanita diantara kaum pria yang saat ini masih dikampanyekan merupakan sebuah upaya yang dianggap belum tuntas. Harapan dari kalangan ini untuk memeperoleh kesetaran utuh diantara kekuasaan di dunia menjadikan kelompok ini memasuki banyak elemen dalam kelompok masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun