Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Beda Pilihan Tidak Harus Jadi Ironi

22 September 2020   02:29 Diperbarui: 22 September 2020   02:52 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Awal Tahun 2019 lalu, di depan mata kita melihat sebuah agenda besar yang akan memimpin negri ini. Empat nama yang tak asing bagi kita saat ini sedang saling bersaing sebagai dua pasangan calon (paslon) yang sedang berebut simpati dan empati dari masyarakat Indonesia, agar bisa membawa mereka ke tampuk kekuasaan negri ini.

Sipil, militer, pengusaha dan Santri adalah 4 tipologi yang dapat kita gunakan untuk melihat kekuatan mobilisasi politik yang coba para tim kampanye masing-masing paslon capai dalam mempengaruhi pemilih dalam pemilihan presiden ini.

Kekuasaan adalah kekuatan untuk memberikan pengaruh secara luas. Namun praktik kesewenangan negara monarki absolut di masa lampau, dan penindasan negara pada rakyatnya di negara otoriter telah menjadikan negara-negara di dunia secara umum memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan mereka.

Secara sederhana Freedom House, yang merupakan Non-Government Organization (NGO) yang secara konsekuen membuat laporan tentang penerapan sistem demokrasi di seluruh dunia mengkategorikan sebuah negara dalam negara demokrasi apabila pimpinan politik mereka dipilih melalui pemilihan umum.

Maka terlepas dari bagaimanapun kompleksitas pemerintahan dalam negri, apabila pemilu diterapkan artinya telah menjadi sistem kedaulatan rakyat yang sesungguhnya.

Namun apa yang membuat Pilpres ini menjadi persaingan yang tak lagi kompetitif, melainkan perseteruan fanatisme antar pendukung pasangan calon begitu kita rasakan, walaupun bagi mereka yang belum secara pasti menentukan pilihan.

Bipolaritas yang terjadi belakangan adalah pengaruh yang dihasilkan oleh persaingan natar pendukung kedua pasang calon, yang masing-masing menginginkan pasangannyalah yang menjadi pemimpin negri ini.

Masing-masing pendukung paslon sama-sama menunjukan gairah yang sama dalam hal ini. Keras dan sengitnya perseteruan antar paslon yang bersaing, yang ditandai dengan saling serang, saling caci maki melampaui batas yang rasional bisa mengakibatkan banyak orang yang jadi antipati lalu apatis terhadap politik. 

Namun, kondisi yang demikian juga bisa menjadikan seseorang yang semula memutuskan menjadi golput bisa secara tiba-tiba kembali terpanggil untuk mencoblos karena menilai keadaan jadi rumit dan dia merasa perlu memenangkan capres yang dinilainya cocok dengan aspirasinya.

Lembaga Survei Indikator Politik mencatat bahwa para pemilih yang tak memutuskan pilihan politiknya diperkirakan akan mencapai angka 9,2 persen. Ada juga lembaga yang memprediksi bahwa golput bisa mencapai 20 persen.

Golput memang tak harus dimaknai sebagai orang-orang yang apatis terhadap politik dalam konsep ataupun praktiknya, karna bisa jadi mereka adalah golongan masyarakat terdidik yang memang merasa tidak punya pilihan pada salah satu ataupun keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun