Mohon tunggu...
Thoriq Fathurrahman
Thoriq Fathurrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Staf CIOS

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Sikap Xi Jinping dalam Konflik Natuna Indonesia-China

28 September 2022   15:39 Diperbarui: 28 September 2022   17:15 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Laut memiliki potensi sumber daya yang sangat beragam sehingga begitu banyak dicari oleh masyarakat. Potensi-potensi dapat dijabarkan meliputi sebagai sumber mineral dan tambang, sumber energi, jalur penghubung wilayah, pariwisata, dan perikanan. Maka tak heran bilamana wilayah perairan ini sering dijumpai perselisihan atau perebutan oleh berbagai negara. Alibi yang digunakan oleh suatu negara menjadi faktor utama mengapa negara tersebut berani untuk mengklaim wilayah laut negara lain. Pada kasus yang anyar, konflik perairan laut China selatan menjadi isu yang diperbincangkan karena permasalahan ini tidak sesederhana urusan wilayah saja karena turut melibatkan faktor-faktor lainnya pula.

Konflik laut China selatan merupakan konflik perebutan wilayah laut bagian selatan China yang melibatkan Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Taiwan, dan china itu sendiri. Dalam belakangan ini Indonesia juga dilibatkan karena China memerintahkan kepada Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran di wilayah Natuna yang mereka anggap sebagai wilayah perairannya.

Akar konflik ini bermula pada tahun 1947 ketika China membuat peta Laut China Selatan (LCS) dengan sembilan garis putus-putus (the nine dash line) atau dapat disebut juga sebagai lidah sapi (cow’s tongue) yang menyertakan wilayah Kepulauan Spartly dan Paracel.

Klaim wilayah perairan ini bukan tanpa dasar. Klaim China mengenai laut China selatan diperkuat melalui argumennya berdasarkan historis China kuno bahwa peta ini telah ada sejak Dinasti Han yang berkuasa di abad ke-2 SM hingga Dinasti Ming dan Dinasti Qing di abad ke-13 SM. Atas landasan historis yang kemudian mendorong China mengungkit kembali kepemilikan Laut China Selatan. Dengan kata lain, ini merupakan klaim sepihak China atas kedaulatan untuk mengontrol wilayah perairan dimana negara-negara kawasan Asia Tenggara dan Taiwan merupakan pemilik wilayah secara Hukum Internasional kelautan yang telah ditetapkan. Klaim yang dilakukan China di wilayah Laut China Selatan sangatlah luas, yang mencangkup 90% wilayah yang terdiri dari Kepulauan Paracel yang disengketakan dengan Vietnam dan Taiwan dan Kepulauan Spratly yang disengketakan dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.

Laut China Selatan merupakan perairan yang mengandung kaya akan sumber daya alam dan juga sebagai jalur perdagangan. Oleh karenanya dianggap penting oleh negara-negara di sekitar-Nya. Sehingga respon dari negara-negara sekitar laut China selatan atas klaim sepihak China menimbulkan konflik karena negara-negara tersebut telah memiliki perairan yang ditetapkan Hukum Laut Internasional atau United Nation Convention of the Law of the Sea (UNCLOS) dan tentunya mereka sangat bergantung pada wilayah perairannya itu. Berdasarkan konvensi UNCLOS, klaim China terhadap laut China selatan dengan Sembilan garis putus-putusnya telah melanggar hukum internasional.

Dampak dari persengketaan laut China selatan turut merambah ke Indonesia. Ini terjadi lantaran China melarang adanya aktivitas eksplorasi minyak dan gas yang dilakukan Indonesia di laut Natuna Utara dengan alasan bahwa itu merupakan masuk ke dalam wilayahnya. Hal itu tidak terlepas dari klaim sepihak China yang memasukkan perairan Natuna Utara yang sudah jelas masuk ke daerah yurisdiksi Indonesia ke dalam peta nine dash line-Nya. Prof. Melda Kamil Ariadno, S.H., LL.M., Ph.D, menuturkan unilateral claim (klaim sepihak) bersifat tidak mengikat atau mengekang negara lain untuk mengakuinya. Dalam kasus Laut China Selatan bisa dianalisa bahwa tindakan China merupakan bentuk unilateral klaim dimana klaim terbut tidak melibatkan negara lain (multilateral claim). Dalam menanggapi hal ini tentu langkah yang Indonesia ambil tidak mengakui laut Natuna sebagai wilayah daripada China dengan selalu melakukan persistent objection (penolakan secara terus-menerus).

Namun tindakan yang dilakukan oleh China kepada Indonesia sangat berlawanan dengan apa yang telah dijanjikan oleh Presiden mereka, Xi Jinping, pada peringatan 30 tahun hubungan China degan ASEAN bahwa China tidak akan mendominasi kawasan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara. Xi Jinping mengatakan pada acara tersebut, "(China) ingin bersama-sama memelihara perdamaian abadi di kawasan itu dan sama sekali tidak akan mencari hegemoni atau menggertak yang kecil”.

Pernyataan ini tidak sesuai dengan fakta di lapangan sehingga menimbulkan spekulasi bahwa Xi Jinping memiliki sifat ingkar janji dan rela melanggar aturan atau norma demi kepentingan negaranya. Kato Yoshikazu, seorang peneliti di Rakuten Securities Economic Research Institute menyatakan Xi Jinping memiliki kepribadian melanggar aturan atau norma, ingin mengendalikan segalanya, pengambil risiko, dan tidak terduga.

Ketidakselarasan antara ucapan Presiden China, Xi Jinping, tentu memiliki dasar rasionalnya. Xi Jinping tidak akan begitu saja mengalah atau membiarkan wilayah yang dianggap miliknya itu dikuasai oleh negara lain. China selalu berambisi untuk menguasai seluruh area Laut Natuna Utara lewat nine dash line. Berbagai cara ditempuh Presiden China Xi Jinping demi mewujudkan ambisi itu, sekalipun dengan mengingkari janjinya sendiri.

Penulis mencoba menganalisis konflik klaim wilayah laut Natuna Utara antara Indonesia dengan China menggunakan Segitiga Johan Galtung. Johan Galtung memandang konflik sebagai sebuah segitiga. Dengan tiga rincian yaitu kontradiksi, sikap, dan perilaku. Kontradiksi pada kasus ini adalah China dan Indonesia berkonflik oleh sebab China mengklaim laut Natuna utara merupakan wilayahnya jika berdasarkan nine dash line yang mereka buat. Sedangkan bagi Indonesia, laut Natuna utara merupakan wilayahnya dengan dalil Zona Ekonomi Eksklusif. Secara sikap, masing-masing dari kedua belah pihak saling mengeluarkan sikap emotif yakni dilema. Berdasarkan perilaku, Indonesia dan China menunjukkan perilaku saling melawan

Tindakan khianat Xi Jinping ini berdasarkan pada rational choice theory dimana premis pada teori ini menyebutkan bahwa para pembuat keputusan cenderung melakukan pilihan rasional setelah menimbang-nimbang secara cermat keuntungan maksimal. Pertimbangan untung-rugi dalam persengketaan laut Natuna menjadi acuan utama Xi Jinping untuk bisa menguasainya karena Natuna diketahui memiliki potensi yang berdaya guna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun